Oleh: Frederik Gasa, S.IP., M.Si.

“Digital is happening now because of the perfect storm of low-cost communications, computer device “at the edge” and sensors” [1]

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa segala aktifitas manusia modern digerakan oleh teknologi digital. Teknologi menjadi pilar utama yang meyokong kehidupan manusia. Kita menghabiskan waktu kurang lebih 5-6 jam perhari bersama gadget untuk bermacam-macam aktivitas; main mobile legend, belanja di Tokopedia atau Shopee, memesan Go-Jek atau Grab dan atau menonton review hasil pertandingan Liga Champions di Youtube. Digitalisasi mutlak dan urgen, tak terpisahkan dari peradaban manusia saat ini, akan tetapi adapula dampak lain yang dirasakan – paling tidak bagi “people zaman old” yang masih relatif konvensional.  Teknologi digital tidak sekadar candu, tetapi juga menjadi gangguan (disruption).

Digital disruption secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah kondisi dimana digitalisasi merambah seluruh dimensi kehidupan manusia dan mengubah berbagai hal atau cara hidup lama. Konsep digital disruption paling mudah dipahami manakala kita mengamati dan menyadari bagaimana perubahan persebaran dan konsumsi informasi, bagaimana ia diproduksi, didistribusi dan akhirnya dikonsumsi oleh khalayak (audience). Milenial tidak perlu lagi menyediakan waktu khusus untuk duduk dan membaca koran atau majalah, yang ia butuhkan adalah paket internet atau Wifi untuk mengetahui peristiwa atau kejadian apa yang sedang hits diperbincangkan orang banyak. Polanya sudah berubah. Konvergensi media bermuara pada simplicity dan efektifitas pencarian informasi karena hanya dengan handphone orang mampu menemukan banyak hal, yang tentu saja lintas batas sifatnya. Lalu bagaimana dengan industri media yang diamini sebagai sumber berita? Seperti apa nasib dunia pertelevisian di tengah masifnya orang yang eksodus ke Youtube?

Tanggal 23 Maret 2018, Bapak Arief, VP Business Strategy CNN Indonesia saat memberikan sharing kepada mahasiswa BINUS @Malang, dengan begitu lugas namun tetap mudah dipahami menjawab kegilisahan ini. Menurutnya, industri media harus berbenah. Target pasar, dalam hal ini adalah khalayak, dikuasai oleh Gen Y dan Gen Z yang kurang aware lagi dengan media konvensional. Faktanya, periode 2014-2016 ada banyak media cetak di Indonesia yang “mati”, diantaranya  Tabloid Gaul, Harian Jurnal Nasional, Soccer, Koran Tempo Minggu, Jakarta Globe, Majalah Cita Cinta, dan masih banyak lagi. Bagi kelompok Gen Y dan Gen Z, newsfeed di LINE atau timeline Instagram adalah sumber informasi mereka. Konsekuensinya, strategi media dibenah. Kombinasi medium offline dan online menjadi pilihan yang paling rasional untuk bertahan hidup.

Digital disruption menjadi sebuah “gangguan” yang “mengasikan” dan sekaligus “motifatif”. Peluang karir, terutama bagi kaum muda, terbuka sangat luas. Berpenghasilan puluhan hingga jutaan rupiah tidak harus melalui kerja kantoran. Cukup dengan kamera DSLR atau bahkan kamera handphone dan narasi atau kisah yang “gurih” mampu menarik perhatian khalayak sehingga pada akhirnya ada reward yang diperoleh. Walau demikian, hal ini juga menjadi kekhwatiran para pemilik media yang terancam kehilangan khalayak. Bukan tidak mungkin, jika tidak mampu menyiasatinya dengan strategi bisnis yang pas maka akan gulung tikar juga.

[1] https://h20195.www2.hpe.com/V2/GetPDF.aspx/4AA6-7153ENW.pdf