Sebagai seorang seniman maupun praktisi yang terjun dalam bidang grafis, proses ini harus direnungkan baik-baik. Semua yang tergambar oleh tangan adalah hasil dari apa yang diamati dan diproses oleh otak, sama seperti hukum fisika adalah representasi proses nyata. Bila berpikir lebih dalam secara filosofis – apa yang kita gambar bukanlah kenyataan atau gambaran realitas yang obyektif. Ini adalah gambar yang diciptakan oleh otak Anda, sebuah interpretasi dari sinyal yang tertangkap oleh mata Anda. Oleh karena itu, dunia seperti yang kita lihat hanyalah penafsiran realitas, satu dari banyak – dan bukan yang paling benar atau paling sempurna dari semuanya.

Bila pemikiran ini dihubungkan sebagai dasar pemikiran sebuah karya seni lukis, lukisan itu sendiri adalah sebuah aksi atau tindakan untuk menggelapkan, menerangkan dan mewarnai bagian tertentu sebuah kertas (atau medium lain) untuk menciptakan kesan yang bagaikan melihat sesuatu yang riil atau pernah terlihat. Dengan kata lain, seorang seniman mewujudkannya melalui aksi motoric, menghasilkan re-presentasi visual yang bisa diciptakan oleh otak kita.

Jika representasi visual tersebut mirip dengan apa yang (pernah) terlihat, sesuai dengan standar visualisasi manusia pada umumnya, maka seni itu diberi label realistis. Ini mungkin realistis meskipun tidak memiliki bentuk atau garis yang dapat dikenali — yang Anda butuhkan hanyalah beberapa tambalan warna, cahaya, dan bayangan untuk menghadirkan sesuatu yang akrab di benak Anda. Inilah contoh bagus dari efek ini:

Untuk menciptakan image yang paling serasi dengan photographic memory yang tersimpan otak, pertama-tama seniman perlu menyadari prosesnya. Sebenarnya proses merekam dan menyimpan photographic memory ini bukan hanya bagian aktivitas sehari-hari saja, namun bisa dijelaskan secara sains. Persepsi tentang proses kerja otak dan pembahasan mengenai photographic memory dianggap sebagai pemikiran ilmiah dan sains, sedangkan melukis merupakan perbuatan non-ilmiah dan intuitif yang mengandalkan feeling. Persepsi dan cara pikir itu adalah sebuah kesalahan, karena seni adalah refleksi dari realitas yang dilihat melalui mata kita. Untuk meniru realitas (mimesis), diperlukan koordinasi yang baik antara penglihatan, photographic memory, dan sensor motoric (tangan & jari)

Vision

Pembahasan mengenai fisika, sinar cahaya menyentuh benda dan memantul pada mata, kemudian otak melakukan proses render image dan menyimpannya ke dalam memory. Jadi yang pertama dan terutama dalam melukis adalah harus ada cahaya. Karena adanya cahaya maka manusia mampu melihat. Cahaya bukan obyek, bukan warna, bukan perspektif, bukan bentuk. Cahaya hanya bisa terlihat apabila tercermin dari permukaan, terpantul dan terpengaruh sifat permukaan sehingga tertangkap oleh indera penglihatan menjadi sebuah imagery dalam ingatan manusia bagaikan rangkaian video yang selalu tersambung, semuanya adalah serial proses yang bermula dari cahaya yang menabrak retina kita pada saat itu. Image ini dapat berubah-ubah tergantung dari perbedaan dan sifat-sifat setiap sinar — setiap satuan cahaya tersebut berasal dari arah dan jarak yang berbeda, bahkan mungkin cahaya tersebut telah berpantul menabrak beberapa obyek sebelum tertangkap oleh retina mata pada fase yang terakhir.

Itulah deskripsi sains dari aksi melukis – seorang seniman meniru cahaya yang menyentuh, menabrak, meresap dan memantul melalui permukaan (yang mempunyai warna, kerapatan, gloss) yang berbeda melalui jarak tertentu (jumlah warna, kekuatan/intensitas, kontras, angle/sudut pandang yang berbeda).

 

 

Sumber:

Zagrobelna, Monika (2014). Improve Your Artwork by Learning to See Light and Shadow.

Retreived from : https://design.tutsplus.com/articles/improve-your-artwork-by-learning-to-see-light-and-shadow–cms-20282