Oleh:

Nisrin Husna, S.Ikom, M.Ikom

Dewasa ini, kehadiran generasi Z dengan segala keunikan tingkah lakunya cukup menyita perhatian berbagai kalangan. Generasi yang lahir pada tahun 1995-2010 ini semakin sering menjadi pembahasan oleh karena berbagai fenomena baru yang mereka bawa.  Mereka lahir dan tumbuh besar di era teknologi yang semakin mapan, hal ini kemudian membuat mereka juga disebut sebagai iGeneration, generasi net, atau generasi internet. Sebutan tersebut melekat oleh karena keseharian mereka yang selalu bersentuhan dengan gadget setiap waktu, dan mendominasi komunikasi dalam media sosial. Sayangnya, relasi mereka yang terjalin kuat dengan dunia maya membuat mereka seringkali terputus konektivitas dengan dunia nyata. Hal tersebut semakin memperjelas adanya fenomena komunikasi baru yang terbangun pada Generasi Z sehingga menarik berbagai pihak untuk menilik fenomenologi komunikasi generasi ini.

Fenomenologi komunikasi itu sendiri diadopsi dari nama komunikologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari berbagai gejala sosial sebagai akibat dari  proses komunikasi massa,  komunikasi kelompok, dan komunikasi antar pribadi atau interpersonal. Pada tahun 1967, Keith Brooks dalam bukunya The Communicative Arts and Science of Speech menyatakan bahwa yang dimaksud dengan komunikologi adalah integrasi prinsip-prinsip komunikasi yang diketengahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Fenomenologi komunikasi memberikan suatu pendekatan ilmu untuk mempelajari suatu fenomena dengan cara dan keunikan dari sisi orang-orang yang diamati. Dalam kehidupan berkomunikasi, generasi Z memperlihatkan fenomena bahwa tidak ada jurang pemisah antara diri mereka di dunia maya dan dunia nyata. Layanan chat online setiap saat; intensitas pertemuan fisik dengan orang lain berkurang;  dan bahkan jika dalam pertemuan, gadget tetap tidak terlepas dari tangan, dan berbagi fokus antara dunia maya dalam gadget yang tergenggam dan dunia nyata dengan orang di hadapan. dr.Miryam A. Sigarlaki, M.Psi menambahkan bahwa Generasi Z  bersifat skeptis dan sinis, menjunjung tinggi privasi, memiliki kemampuan multi-tasking yang hebat, mengalami ketergantungan terhadap teknologi, serta memiliki pola pikir yang sangat luas dan penuh kewaspadaan. Ia berpendapat bahwa gadget seharusnya menghantar mereka menjadi generasi yang lebih cerdas dibanding generasi sebelumnya karena informasi tersedia oleh perangkat tersebut. Namun sayangnya, Generasi Z justru mengalami adiksi yang menyebabkannya tidak dapat lepas dari gadget sehingga berdampak pada kurang sosialisasi, menjadi pribadi yang tidak fokus, dan memiliki kompetensi sosial yang sangat kurang .

Fenomena komunikasi generasi Z yang telah terbangun dan membudaya tidak akan dapat dielakkan, terlebih lagi dilawan. Sebagai  generasi pendahulu , Baby Boomer, Generasi X maupun Y harus memahami karakteristik generasi Z serta mengambil peranan sebagai contoh baik dalam praktek komunikasi. Significant others, orang tua, dan para pendidik harus menciptakan suasana kondusif untuk berkomunikasi, memiliki perasaaan positif dimana mendorong para generasi Z untuk lebih aktif berpartisipasi. dr.Miryam A. Sigarlaki, M.Psi mengemukakan  bahwa alangkah baiknya apabila generasi pendahulu seperti ibu, bapak, kakek, dan nenek atau guru dan dosen bisa menempatkan diri sebagai sahabat mereka, terutama dalam memberikan kritik dan saran yang disertai dengan gaya kekinian sehingga mudah diterima oleh generasi mereka. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena pada masa era digital saat ini, para generasi Z menginginkan keberadaannya diakui, selalu terhubung dengan media sosial, cuek dan anti sosial, bahkan menikmati kesendirian dan kehilangan kemampuan sosialisasi.

Bedasarkan kondisi tersebut kesuksesan komunikasi mereka harus distimuli oleh pandangan dan perasaan positif. Perasaan positif akan menimbulkan pola perilaku komunikasi antarpribadi yang positif pula. Komunikasi paling efektif yang dapat dilakukan oleh significant others generasi Z adalah komunikasi secara tatap muka atau face to face communication melalui penciptaan waktu untuk berkumpul dan berkomunikasi secara tatap muka bersama mereka. Dari hal tersebut, maka akan muncul kedekatan, sehingga efektivitas komunikasi interpersonal dapat meningkatkan jarak publik menuju jarak intim. Oleh karena generasi Z adalah generasi yang lebih menekankan pada komunikasi secara terbuka, maka mereka cenderung lebih senang untuk dilibatkan dalam diskusi bersama orang tua atau generasi pendahulunya daripada digurui atau diberikan masukan atas keputusan yang tanpa melibatkan mereka. Dengan memberikan treatment yang tepat kepada generasi Z, diharapkan mereka dapat menjadi generasi bangsa yang unggul secara digital sejak dini, sekaligus lengkap dengan kualitas komunikasi yang penuh tata krama dan empati.