Miranti Nurul Huda, S.Sn, M.Ds

 

Berbicara tenang kebudayaan, Indonesia memang memiliki banyak sekali ragam budaya mulai dari tarian, rumah adat, pakaian, senjata, dan bahasa daerah. Terlalu banyaknya ragam kebudayaan tersebut menjadikan kita beberapa kali harus ‘pura-pura kaget’ saat kebudayaan kita diambil negara tetangga. Jatidiri dan identitas suatu negara ada didalam kebudayaannya, jika itu hilang maka hilang pula jatidiri negara tersebut.

Dampak dari arus globalisasi hampir bisa dirasakan diberbagai cabang desain. Batik adalah karya seni luhur yang diwariskan nenek moyang pada kita. Batik jugalah yang mengantarkan Indonesia bisa terkenal di manca negara. Namun perkembangan batik saat ini tidak menuju arah yang lebih baik. Perkembangan batik sekarang ini lebih dominan pada carangan dan batik sempalan. Batik carangan adalah batik yang sudah mengalami modifikasi tetapi masih menampilkan unsur-unsur batik klasik. Sedangkan batik sempalam, tampilannya merupakan modifikasi bebas hasil kreatifitas desainer/pembatiknya. Sangat bisa terjadi bahwa motif dan warna pakem dalam batik tidak berlaku lagi. Dunia industri fashion sudah sedemikian rupa menggiring batik dalam kondisi yang seperti sekarang ini. Bahkan di Pekalongan, muncul suatu kebanggaan bahwa jika bisa memproduksi batik dengan harga semurah mungkin, maka itu adalah prestasi. Batik yang awalnya adalah karya seni yang luhur dari nenek moyang kita sudah bertransformasi menjadi  karya seni yang ‘rendah’. Padahal yang dikatakan batik adalah proses penulisan gambar atau ragam hias pada media apapun dengan menggunakan lilin batik (wax) sebagai alat perintang warna. Jadi dapat dikatakan jika sebuah kain tidak digambar melalui proses lilin batik maka itu bukan kain batik, tapi tekstil yang bermotif batik.

Pergeseran budaya terjadi juga dalam dunia desain grafis. Kemudahan dan keinstanan yang ditawarkan oleh teknologi membuat desainer-desainer grafis dengan mudah ‘mengoprek’ unsur-unsur desain menjadi lebih global. Contohnya saja karakter tokoh Gatotkaca yang sekarang ini menjadi lebih berfariasi. Tokoh superhero dalam perwayangan ini sudah di redesain menjadi lebih global dan mulai bergeser dari citra Gatotkaca yang sebenarnya. Sebuah iklan layanan masyarakat menganggkat tema tersebut.

² Astuti Soekardi. “Gejala Transformasi Budaya dalam Dunia Fashion” diakses dari http://astutisoekardi.blogspot.com/2013/02/gejala-transformasi-budaya-dalam.html pada 22 oktober 2013 pukul 16.40 (GMT+7)

Dalam iklan itu terdapat kode hermeutik terlihat pada aspek enigma. Pertanyaannya, kenapa Gatotkaca diversuskan dengan Superman ? Padahal jelas Gatotkaca dan Superman hidup dalam atmosfet dan peradaban yang berbeda. Terlepas dari ketenaran Superman dibandingkan Gatotkaca, saya pribadi melihat fenomena ini sebagai fenomena pergeseran cara pandang masyarakat kita akan sebuah karya seni. Arus globalisasi tampaknya telah merupan pola pikir masyarakat menjadi global yang mengesampingkan aspek mitos, legenda,dan seni. Hal ini dikarenakan masyarakat kita jauh lebih sering menonton tayangan global (Superman) daripada tayangan lokal (Gatotkaca). Masyarakat terus dihujani dengan citra Superman, mulai dari film, komik. Merchendise kaos, sticker yang akhirnya masyarakat lebih mengingat dan menyukai tokoh Superman. Kebudayaan kita mulai terlupakan karena desainer-desainer kita lebih sering menampilkan tokoh hasil globalisasi dilayar kaca. Anak-anak jaman sekarang akan lebih mudah menyebutkan nama-nama keluarga Disney daripada tokoh dalam Punakawan. Mungkin bila disurvey, seluruh anak di dunia ini memiliki keseragaman idola tokoh ksatria, yaitu Superman.

Di bidang arsitektur juga terjadi kepopuleran budaya yaitu gaya rumah minimalis. Gaya minimalis bukan ciri khas lokal tapi merupakan adopsi dari luar. Gaya rumah minimalis yang mengusung segi simple dan cenderung kotak ini sejatinya tidak sesuai dengan iklan tropis di Indonesia. Struktur bangunan rumah minimalis biasanya menggunakan rangka beton yang walaupun kuat rangka tersebut dapat menyimpan panas dan kemudian melepaskannya secara perlahan sehingga rumah menjadi panas dalam jangka waktu yang lama. Apalagi rumah minimalis yang memiliki atap datar. Rumah dengan atap datar hanya cocok di daerah iklim 4 musim karena mereka hanya memiliki periode musim hujan yang singkat. Sedangkan di Indonesia curah hujan cukup tinggi, akibatnya air hujan akan mudah tergenang yang akhirnya menimbulkan masalah baru seperti kebocoran. Curah hujan yang tinggi dan suhu yang panas membuat rumah minimalis hanya tampak keren dari luar.

Pergeseran ini bisa jadi karena desainer-desainer kita juga mengalami perubahan pola pikir. Mereka mulai berfikir bahwa agar desainnya disukai, maka dia harus mengikuti arus yang ada. Pamor kebudayaan lokal semakin menurun akibat tergerus dengan arus globalisasi. Mike Featherstone mengatakan, budaya global menjadi sebuah persoalan ketika budaya-budaya lokal terinterasi “kedalam struktur-struktur yang lebih bersifat impersonal yang didalamnya mengatur pasar atau administrasi dijaga oleh elit-elit nasional atau para profesional dan ahli lintas budaya yang mempunyai kapasitas untuk mengesampingkan proses pengambilan keputusan lokal dan menentukan nasib lokalitas.”  Hegemonisasi atau penyeragaman budaya secara besar-besaran di dalam berbagai bentuk, media, dan produknya, yang menyebabkan menyempitnya ruang lokal dan merosotnya pamor budaya lokal. Melihat fakta tersebu, seharusnya masyarakat kita (baca : desainer) memiliki semangat untuk kembali ke budaya lokal (localism) mulai terdorong untuk menjaga dan mulai khawatir akan kelenyapan budaya lokal.

REFERENSI

Anita K Wardhani, “Rumah Gaya Minimalis Tak Cocok di Indonesia”, diakses dari http://www.tribunnews.com/lifestyle/2011/02/25/rumah-gaya-minimalis-tak-cocok-di-indonesia.html 22 Oktober 2013 pukul 17.00 (GMT +7)

Astuti Soekardi. “Gejala Transformasi Budaya dalam Dunia Fashion” diakses dari http://astutisoekardi.blogspot.com/2013/02/gejala-transformasi-budaya-dalam.html pada 22 oktober 2013 pukul 16.40 (GMT+7)

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, Yogyakarta,  2009, hlm. 49.

Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, Jalasutra, Yogyakarta,  2004, hlm. 287.