(Frederik Gasa, SIP, M.Si)

Medan (arena) pada dasarnya adalah tempat persaingan dan perjuangan” (Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian, 2016)

Polemik Pantai Pede di Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar) – Flores sejatinya merupakan sebuah arena perjuangan (champ).

Pierre Bourdieu (1994: 56) mengartikan arena perjuangan sebagai lingkup hubungan-hubungan kekuatan antara berbagai jenis modal atau lebih tepatnya antara para pelaku yang memiliki jenis-jenis modal tertentu sehingga mampu mendominasi medan perjuangan yang terkait.

Strategi yang diterapkan pelaku sangat bergantung pada besarnya kapital yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisinya di lingkungan sosial.

Kapital merupakan sumber daya yang dimiliki setiap individu atau pemain (aktor) dalam sebuah arena, juga menjadi penentu struktur hubungan kelas dalam masyarakat.

Ada empat macam kapital. Pertama, kapital ekonomi, yakni sumber daya yang bisa menjadi sarana produksi dan sarana finansial serta paling mudah dikonversi ke kapital-kapital lain.

Kedua, kapital budaya, yakni semua bentuk kekayaan simbolis yang mengacu pada pengetahuan atau ketrampilan yang diperoleh, lalu menjadi disposisi. Di antaranya adalah ijazah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial.

Ketiga, kapital sosial, yaitu semua bentuk jaringan atau koneksi sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial.

Keempat adalah kapital simbolik, yakni semua bentuk pengakuan sosial baik secara institusional atau tidak, yang pada akhirnya menghasilkan kekuasaan simbolik.

Menarik untuk mengkaji polemik Pantai Pede dari perspektif komunikasi politik, khususnya dengan berangkat dari konsep pemikiran Bourdieu.

Pantai Pede menjadi sebuah arena yang mempertemukan kelompok atau kelas dominan yang kuat dari sisi kapital ekonomi, yakni PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) dengan kelas borjuis kecil yang lemah dalam kapital ekonomi namun kuat dari sisi kapital budaya, antara lain kelompok seniman, aktivis, biarawan/biarawati.

Kelompok borjuis kecil ini menjadikan Pantai Pede sebagai ruang konfrontasi sekaligus pembebasan atas dominasi kelas dominan.

Bourdieu melihat bahwa dalam arena perjuangan, hubungan antaraktor akan selalu diwarnai oleh dominasi, namun Habermas, melalui konsep ruang publik (public sphere) ingin melihat dari perspektif yang sedikit berbeda bahwa Pantai Pede adalah ruang publik yang didalamnya setiap orang dengan bebas mengemukakan pendapat tanpa harus takut atas dominasi atau sensor dari otoritas tertentu.

Pantai Pede sebagai Ruang Publik

Dalam esainya yang berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere, Habermas memperkenalkan konsep ruang publik sebagai refleksi dari obrolan di warung kopi, salon dan tempat keramaian lainnya.

Baginya, tempat-tempat tersebut menjadi locus pertukaran gagasan atau ide dari setiap orang yang ada tentang isu-isu tertentu, tanpa memandang latar belakang dan status sosialnya.

Gagasan-gagasan tersebut pada akhirnya bermuara pada sebuah konsensus yang mengkristal dalam bentuk opini publik (Habermas, 1989: 2-4).

Ruang publik menjadi medium konfrontasi politik masyarakat (Habermas, 1989: 27).

Kebebasan dalam berpendapat dan ketiadaan sensor menjadi modal bagi lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, masyakarat yang partisipatif.

Isu mengenai privatisasi Pantai Pede menjadi perhatian bersama (common concern) seluruh masyarakat Manggarai.

Hal ini tentu sangat beralasan karena Pantai Pede tidak lagi dipandang sebagai public place semata melainkan sebagai public sphere dan lebih jauh sebagai tanda atau simbol.

Pantai Pede menjadi tanda penghormatan akan hak-hak politis masyarakat Manggarai Barat. Sama seperti hak-hak lainnya, maka sudah sewajarnya semua pihak menghargai hak-hak politik masyarakat yang disimbolkan oleh Pantai Pede.

Bahwa pengelolaan Pantai Pede juga harus tetap mengedapankan dan mengejar tercapainya bonum commune tidak melulu mengatasnamakan logika untung rugi dan menghilangkan esensi pembangunan itu sendiri, pembangunan sumber daya manusia bukan sekadar pembangunan fisik.

Akhirnya, penggalan tulisan Dr.Haryatmoko (2003: 162) berikut ini bisa menjadi bahan permenungan bersama kita sebagai masyarakat Manggarai yang peduli akan eksistensi Pantai Pede.

“Ruang publik adalah sarana penyingkapan identitas manusia. Mengenali identitas seseorang berarti mengetahui posisinya dalam jaringan hubungan manusia. Penyingkapan berarti kehidupan manusia yang memaparkan sejarahnya. Dengan demikian, ruang publik menjadi sumber makna bagi aksi politik. Semua hasil karya dan sejarah bisa diabadikan”