(Frederik Gasa SIP, M.Si)

Berasal dari salah satu pulau terindah di Indonesia merupakan sebuah kebanggaan bagi penulis. Pulau Flores “Pulau Bunga”, menawarkan eksotisme alam bagi siapa saja yang ingin menikmatinya. Labuan Bajo yang berada di ujung barat Pulau Flores, saat ini menjadi salah satu destinasi wisata favorit. Hingga akhir Desember 2016, jumlah wisatawan dari dalam maupun luar negeri mencapai 82.000 orang.[1] Data statistik ini menunjukkan tren positif bagi perkembangan dan kemajuan di sektor pariwisata dan ekonomi daerah. Peluang ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah setempat untuk membenahi berbagai hal, yang memudahkan dan memberikan kenyamaan akses bagi para wisatawan. Infrastruktur sebagai salah satu dimensi pembangunan daerah yang utama sudah sewajarnya menjadi titik perhatian pemerintah daerah. Pembangunan jalan, jalur pedestrian, penerangan jalan, dan kebutuhan air bersih merupakan operasionalisasi pembangunan infrastruktur. Pemerintah daerah juga tidak kemudian menitikberatkan pada bentuk-bentuk pembangunan infrastruktur “standar” tadi, tetapi juga harus kemudian memikirkan bagaimana kebutuhan wisatawan dan juga masyarakat local akan akses internet yang baik, cepat, dan mudah. Kebutuhan akan akses internet tidak hanya urgen bagi Labuan Bajo dan Flores tetapi juga bagi sebagian kota di Indonesia Timur.

  Christian Möller[2] (2012: 23) menulis tentang Social Media and Journalism dan secara khusus mengulas tentang bagaimana akses internet sebagai bentuk hak asasi manusia. Pada abad ke 21 ini, penggunaan dan akses internet ini menjadi salah satu bentuk hak asasi manusia. Internet menjadi “an indispensable tool” bagi masyarakat modern yang ingin menerima, mencari dan berbagi informasi. Mengakses internet sama halnya dengan kebebasan berekspresi (freedom of expression) dan merupakan basic human right. Dalam laporannya, The UN Special Rapporteur and Protection of the Right to Freedom of Opinion and Expression menyebutkan bahwa kerangka hukum hak asasi manusia masih relevan hingga saat ini dan termasuk dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi komunikasi baru yaitu internet (Möller, 2012: 23). Selanjutnya, pada saat Joint Declaration on Freedom of Expression and the Internet, para perwakilan dari PBB, OSCE dan ACHPR sepakat untuk akses internet merupakan tanggung jawab setiap negara. Internet juga menjadi concern negara-negara di Asia dan Eropa.

Pada Pertemuan Informal Asia-Eropa (ASEM Meeting) ke-12 yang diselenggarakan di Seoul tanggal 27-29 Juni 2012 membahas secara khusus mengenai HAM dan Teknologi Informasi-Komunikasi (ICT).[3] Pertemuan yang juga dihadiri oleh ICT Watch Indonesia ini melahirkan salah satu konsensus: “perlindungan HAM harus juga diterapkan pada ranah online (internet), bebas dari batasan-batasan dan mencakup semua jenis media”. Jelaslah bahwa akses terhadap internet menjadi mutlak bagi masyarakat saat ini. Akan tetapi kebebasan yang dimaksudkan ini juga tidak tanpa resiko. Pemahaman akan kebebasan dalam berekspresi di dunia maya ini bisa berujung pada penyalahgunaan dan merugikan orang lain, bahkan bisa terjerat hukuman. Menuntut hak, tidak kemudian mengabaikan keajiban kita. Meskipun batas kewajiban kita dalam pemanfaatan internet juga masih kabur, sebagai pengguna (user), sudah seharusnya kita bijak dan pandai dalam menggunakannya.

[1] Pernyataan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Manggarai Barat, dalam http://travel.kompas.com/read/2017/01/02/200500527/kunjungan.wisatawan.ke.labuan.bajo.mencapai.82.000.orang, diakses tanggal 18 Juli 2017.

[2] Möller merupakan penasihat khusus pada OSCE Representative on Freedom of the Media

[3] “Internet, Kebebasan Berekspresi dan Hak Asasi Manusia (HAM)”, dalam http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Internet-Kebebasan-Berekspresi-dan-Hak-Asasi-Manusia-HAM.pdf, diakses tanggal 18 Juli 2017.