Hentakan perkembangan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan terasa begitu kencang, saat OpenAI – sebuah organisasi riset di bidang AI meluncurkan sebuah aplikasi robot percakapan (chatbot) bernama ChatGPT di bulan November 2022 lalu. Tak ayal, dalam 1 minggu setelah diluncurkan, pengguna aktifnya menembus 1 juta orang. Sebuah rekor adopsi aplikasi terbanyak saat ini, mengalahkan registrasi aplikasi seperti Facebook, Instagram atau Whatsapp. ChatGPT menjadi begitu populer karena ia bisa digunakan untuk menghasilkan konten, atau lazim disebut Generative AI. Dengan ChatGPT, pengguna bisa menghasilkan banyak hal yang selama ini hanya bisa didapatkan secara manual dan butuh banyak waktu.

Lalu bagaimana menanggapi perkembangan AI terutama chatbot pintar ini di dunia Pendidikan Tinggi? Menurut saya ada tiga hal yang bisa menjadi strategi awal: Mental, Sumber Daya dan Kebijakan, disingkat “MSK”.

  1. Mental: Harus Berdamai dan Hidup Berdampingan bersama AI

Betul. Persiapan mental dan pola pikir menjadi kunci. Perlu dipahami bahwa AI akan terus berkembang untuk menjadi makin pintar dan canggih. Para mahasiswa yang kita didik di perguruan tinggi akan hidup berdampingan bersama AI di masa mendatang. Oleh karena itu para mahasiswa sebaiknya dibekali untuk bagaimana mereka bisa meningkatkan inovasi, kualitas hidup dan kemampuannya dengan menggunakan AI. Justru jangan sampai penggunaan AI dibatasi apalagi dilarang. Yang perlu dilakukan adalah mereka diajarkan tentang bagaimana potensi, harapan dan bahaya dari AI ini. Dengan sikap mental yang tepat, maka pengelola perguruan tinggi bisa lebih leluasa dalam melakukan perencanaan dan pengembangan AI di perguruan tinggi.

  1. Sumber Daya: Siap AI, AI Siap.

Jika institusi Pendidikan tinggi sudah memiliki mental yang receptive terhadap AI. Maka tahapan berikutnya adalah menyiapkan sumber daya yang memadai untuk mendukung sikap mental tersebut, yaitu Siap AI, AI Siap. Hal ini bisa diawali dengan mendidik para pendidik (dosen) dan staf pendukung untuk bisa menggunakan dan memanfaatkan AI. Pemanfaatan AI bisa diawali dengan menggunakannya dalam keseharian di kelas. Mahasiswa harus diajarkan untuk bisa menggunakan ChatGPT untuk mencari ide penelitian, menggali informasi dan menyusun bahan diskusi. Selain itu, mahasiswa juga bisa memanfaatkan perangkat AI lainnya untuk menghasilkan gambar, seperti Midjourney atau Bing Chat. Dengan demikian mahasiswa didorong untuk tidak ragu memanfaatkan perangkat tersebut. Dengan siapnya para tenaga pengajar, sekaligus memanfaatkannya dalam keseharian di kelas, diharapkan AI menjadi sesuatu yang lumrah dan bukan lagi sesuatu yang harus dipelajari.

Lalu, apakah AI harus masuk dalam kurikulum pembelajaran? Tentu setiap kampus punya pendekatan dan pemikiran masing-masing. AI bisa masuk dalam sebuah mata kuliah tersendiri, terlebih tentang bagaimana memanfaatkan Generative AI dalam keseharian.  Pendekatan ini bisa diperkenalkan untuk semua program studi dengan output yang disesuaikan untuk kebutuhan masing-masing. Alternatif lainnya, adalah lewat materi pengayaan di mata kuliah tertentu. Misalnya, pemanfaatan Chatbot untuk riset dan menulis konten sosial media (copy writing). Harapannya tentu agar integrasi ini bisa dijalankan dengan baik dan mahasiswa bisa memanfaatkannya sesuai konteks perkuliahan mereka.

  1. Kebijakan: Penysunan Strategi Pemanfaatan AI di Pendidikan Tinggi

Tidak kalah pentingnya dengan sikap mental dan sumber daya, adalah penyusunan kebijakan tentang AI di Pendidikan tinggi. Kebijakan ini bisa terkait di bidang pengajaran maupun penelitian. Di bidang pengajaran misalnya, karena AI bisa sangat membantu mahasiswa untuk mengerjakan tugas dan diskusi di kelas, harus ada sebuah aturan tentang penggunaan AI. Misalnya, mahasiswa bisa mengerjakan tugas dengan mengambil materi dari ChatGPT, sepanjang mahasiswa menyampaikan prompt atau perintah di dalam ChatGPT tersebut. Atau mahasiswa bisa juga didorong untuk menggunakan alat pemantau anti-AI, sebelum mereka mengumpulkan tugas mereka ke dosen. Selain itu dalam ujian juga harus ditegaskan, mana yang harus ujiannya dilakukan secara langsung berbasis pen and paper atau mana tugas di lab komputer tanpa akses internet. Hal ini utamanya terkait dengan course mastery di bidang tertentu yang membutuhkan penguasaan keahlian dari mahasiswa.

Tidak hanya di pengajaran, kebijakan di bidang penelitian juga harus ditetapkan. Misalnya, tentang bagaimana para dosen menyusun penelitian dan artikel ilmiah dengan menggunakan AI. Misalnya, dosen diperbolehkan menggunakan AI sepanjang pemanfaatannya terkait editorial review dan grammatical checking bukan terkait penulisan dan pengerjaan tulisan penelitian tersebut.

 

Singkat kata, AI sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Memahami peran, manfaat, keterbatasan serta peluang adanya AI menjadi hal yang penting saat ini. Terlebih terkait dengan dunia Pendidikan tinggi yang dituntut untuk terus beradaptasi dengan kondisi terakhir. Semoga tulisan di atas bisa membantu memberikan pemahaman tentang bagaimana pemanfaatan AI di dunia Pendidikan tinggi.

 

Oleh:

Gatot Soepriyanto Ph.D
Faculty Member School of Accounting, Binus University
Direktur Kampus Binus University @Bekasi

gsoepriyanto@binus.edu

artificial intelligence