Tahun 2019 mendatang adalah perta politik terbesar di Indonesia dalam menentukan pilihan pemimpin yang membawa arah pertumbuhan bangsa dan negara selama lima tahun kedepan. Pemilihan umum presiden secara langsung yang dilakukan one man one vote ini sudah dilakukan untuk ke-4 kalinya. Indonesia menjadi sorotan dunia karena berani menerapkan salah satu konsep demokrasi secara utuh, yang bahkan belum berani dilakukan di Amerika.

Sejak tahun 2004 inilah Indonesia menjadi medan bertempurnya para pasangan calon presiden dan wakil presiden merebut hati para calon pemilih. Dengan usia berhak memilih minimal 17 tahun yang ditandai dengan kepemilikan KTP atau sudah menikah, warga Indonesia boleh menyalurkan suaranya memilih pasangan calon yang didukung. Walaupun pada awalnya dianggap kurang berpengaruh, ternyata suara pemula saat ini justru menjadi sasaran yang diperebutkan para pasangan calon. Mereka yang ada di rentang usia pemula dianggap lebih mudah ditarik menjadi pendukung salah satu pasangan calon karena biasanya kemampuan politik praktis mereka belum matang. Lebih mudah daripada harus merebut hati pemilih usia dewasa yang biasanya sudah menjadi pendukung atau simpatisan salah satu pasangan. Ini menunjukkan keberagaman jenjang sosial, usia, dan lain sebagainya sudah tidak lagi berpengaruh. Suara professor dan suara tukang becak bernilai sama, maka setiap jiwa sangat dihargai pilihannya.

Pemilih pemula yang masih remaja ini adalah sasaran penting yang diperhitungkan dalam pemilu. Tidak kurang dari 14 juta pemilih pemua akan memberikan haknya pada pemilu 2019 mendatang. Hal tersebut membuat para tim sukses pasangan calon presiden harus berusaha lebih giat menyasar para pemilih pemula. Hal yang paling dekat dengan mereka saat ini adalah teknologi, yaitu sosial media. Gadget dan sosial media saat ini sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, apalagi dari kehidupan remaja generasi digital yang memang lahir dan hidup berdampingan dengan segala kemudahan yang disediakan web 2.0 tersebut. Maka sarana ini pula lah yang disasar masing-masing tim sukses dalam menyampaikan pesan dalam usaha menarik simpati para pemilih pemula.

Sosial media dianggap sebagai ring pertandingan dengan ronde tanpa batas yang bisa ditonton semua orang dengan teknologi tersebut. Ajang membangun citra postif masing-masing pasangan calon presiden ini mampu dilihat dan dipilih sesuai bagaimana para penonton yaitu pemilih pemula melihatnya. Citra keinginan atau wish image adalah citra yang ingin dibangun dan diwujudkan oleh individu/organisasi/perusahaan. Maka wish image ini adalah konsep identitas atau citra personal yang diciptakan dan dikonsep dengan matang oleh masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan tim suksesnya. Pemilih pemula sangat peduli dengan image para paslon yang mereka lihat melalui sosial media. Yang hari ini bisa menjadi sarana yang baik atau menjadi boomerang bagi masing-masing pasangan calon.

Wish image yang mereka tentukan bisa terwujud dengan baik sesuai keinginan saat sosial media dimaksimalkan dengan baik. Tetapi sosial media juga mampu merubah dan menggagalkan wish image pasangan calon saat tidak sesuai atau jauh dari image yang tampak di sosial media yang mereka konsumsi. Strategi keterbukaan melalui sosial media seperti saat inilah yang dianggap paling netral, karena para pemilih pemula menjadi juuri, wasit, bahkan bagian dari pertandingan di atas ring tersebut. Siapa saja bebas memposting apa saja yang berkaitan dengan pasangan calon dan bisa dikonsumsi oleh siapa saja. Teknologi tanpa batas ini sebenarnya menjadi pisau bermata dua yang mampu ‘membunuh’ siapa saja sehingga image yang diinginkan tidak sesuai dengan yang terbentuk di masyarakat. Menjauhi teknologi ini atau menghindarinya juga bukanlah solusi menjaga perwujudan wish image mereka, tetapi tidak memfilter pesan yang keluar dan dikonsumsi melalui sosial media juga berbahaya bagi image yang dibangun.