Oleh: Frederik Gasa, S.IP., M.Si.

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini kita berada dalam konteks digitalisasi, dimana antarindividu terhubung melalui jaringan internet menciptakan dunia baru: dunia virtual. Sama halnya dalam kehidupan nyata, tiap individu memiliki identitas yang ingin ditampilkan dan mempengaruhi bagaimana interaksi dengan individu lainnya dalam dunia virtual. Identitas virtual (virtual identity) menjadi pembeda tiap individu dalam kehidupan virtual. Dalam berbagai konteks, identitas virtual ini menjadi alter ego seseorang dalam kehidupan nyatanya. Tidak lah heran jika kemudian apa yang ditampilan pada dunia maya menjadi identitas palsu seseorang.

A virtual identity is a persona that is implied when communicating online” (Jacob van Kokswijk, 2006). von Kokswijk menambahkan bahwa identitas virtual atau identitas online merupakan tampilan diri seseorang dalam dunia maya (online), yang mana ia bebas menentukan ingin menjadi apa dalam dunia maya tersebut, sehingga level of trurth identitas tersebut sangat kecil dan mampu berubah-ubah sesuai dengan keinginan individu tersebut. Orang bisa saja menjadi lebih pintar, lebih seksi, lebih kasar dan bahkan lebih gila dalam dunia virtual.

Sering kita temukan bahwa teman, tetangga atau orang dekat yang dalam kehiduapan sehari-hari dikenal sebgaia pribadi yang santun, ramah, dan tidak banyak berbicara namun berbeda saat berada dalam dunia maya. Media sosial menjadi media untuk menumpahkan isi hati, amarah, dan bahkan caci maki terhadap orang lain. Hal ini berujung fatal apabila kemudian status media sosial merugikan pihak lain. Sebagai contoh, pada bulan Juni 2017, Twitter ramai dengan tagar #BoikotIndosat karena salah satu karyawan PT. Indosat Ooredeo Tbk. mengunggah konten yang bermuatan provokatif di akun media sosialnya, sehingga pada akhirnya karyawan tersebut dipecat karena merugikan reputasi perusahaan.

Selain di Indonesia, hal yang hamper serupa terjadi di Amerika Serikat. Universitas Harvard membatalkan penerimaan masuk 10 calon mahasiswa baru tahun ajaran 2021 karena mengunggah konten-konten berbau SARA di akun Facebook mereka. Keinginan awal mereka adalah untuk “lucu-lucuan” namun tidak bagi pihak-pihak lain yang merasa dirugikan atas candaaan tersebut.

Pelajaran berharga dari dua kasus ini adalah dalam dunia maya, orang bebas untuk menampilakan banyak identitas. Itu lumrah karena yang kita jumpai di dunia maya juga merupakan karakter-karakter maya, dan kerap fiktif. Akan tetapi, sama halnya dalam kehidupan nyata, dunia virtual juga memiliki regulasi yang harus diikuti agar tidak merugikan pihak lain. Menjadi keren di dunia maya, tidak lantas lebih keren dari apa yang kita tampilkan di dunia nyata.