Tak dapat disangkal bahwa Pancasila terdengar sebagai konsep yang usang bagi mayoritas warga bangsa negeri ini. Setidaknya ada satu era dalam perjalanan sejarah bangsa ini yang menandai luruhnya kesaktian Pancasila sebagai ideologi dasar negeri. Program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang dirintis sejak tahun 1974 di era Orde Baru, mulanya memang bertujuan untuk memantapkan dan mengokohkan kedudukan Pancasila sebagai way of life (pandangan hidup) setiap warga bangsa. Kendati demikian, program yang berwajah luhur tersebut lambat laun justru mengukir Pancasila menjadi ideologi keras sebagai alat menertibkan prilaku warga negara. Pancasila diformalkan dan digaungkan ke dalam ruang-ruang kelas sekolah, perguruan tinggi hingga kepada barisan institusi negara.

Pancasila dalam payung P4, alih-alih sebagai visi bangsa yang memanusiakan manusia Indonesia karena ada kesatuan hubungan antara warga bangsa dengan ideologi yang dianutnya, Pancasila justru menjadi pandangan yang menjemukan dan berjarak dengan warga bangsa, persis ketika Pancasila diformalkan dan dibakukan secara keras. Dan pada kenyataannya, situasi negeri justru diliputi oleh kebijakan-kebijakan negara yang menyimpang dari nilai-nilai luhur beradab Pancasila. Ada jurang besar antara yang ideal dengan yang real. Pancasila yang dihidupkan dengan jalur indoktrinasi malah mematikan roh Pancasila itu sendiri. Kita mesti berani mengakui bahwa sejak periode itu bahkan hingga era Reformasi saat ini, internalisasi Pancasila sebagai pandangan dasar negara kepada warga bangsa sangat lemah. Pancasila menemui ironi di tanah kelahirannya sendiri.

Hanya saja, sesudah Pilgub DKI tahun lalu yang sarat dengan argumentasi-argumentasi pembenturan identitas primordial (salah satunya latar belakang keagamaan dan etnisitas), di satu sisi, tidak saja telah menguras energi bangsa bahkan ancaman perpecahan, tetapi juga di sisi lain telah menghasilkan kesadaran dan kehendak positif sejumlah elemen bangsa untuk bergiat menguatkan kembali Pancasila sebagai gagasan filosofis bangsa. Pasca Pilkada DKI, fungsi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa kembali disuarakan dan kembali diteguhkan. Dan tulisan ini masuk ke dalam barisan energi anak-anak bangsa yang berkehendak kuat meneguhkan kembali kekuatan ideologis Pancasila di tanahnya sendiri. Pancasila direvitalisasi.

Dalam kerangka itu, baiklah, saya mengawalinya dengan mengungkapkan kembali pernyataan Bung Karno saat menjalani masa pengasingan selama empat tahun (1934-1938) di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Selama diinternir oleh pemerintah kolonial Belanda, Bung Karno punya banyak waktu memikirkan visi besar sebagai fundamen bangsa kelak jika negeri ini merdeka. Sembari duduk-duduk di bawah pohon sukun bercabang lima yang menghadap samudera lepas Laut Sawu, Bung Karno menghabiskan waktunya bergeliat dalam permenungan intelektual. Bung Karno pernah berujar,

“Di Pulau Bunga (Pulau Flores) sepi yang tak berkawan, aku telah menghabiskan berjam-jam lamanya merenung di bawah pohon kayu. Ketika itulah datang ilham yang diturunkan Tuhan lima dasar falsafat hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya, dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah”.

Bagi Bung Karno, kelima sila adalah kristalisasi pandangan hidup bangsa Indonesia yang terpancar semata-mata dari orisinalitas tradisi budaya bumi pertiwi. Sebagai suatu sistem filsafat yang mendasari tatanan hidup bersama bangsa, Pancasila memuat makna-makna yang sangat menarik dan penting untuk dimengerti [***]

 

Referensi:
Kisah Pancasila, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2017, hal 41.