Quarantine: Antara keselamatan dan kebosanan
Eflina N.F. Mona, S.I.Kom., M.I.Kom.
Pandemi yang saat ini melanda seluruh dunia, masih belum bisa melewati masa kritisnya. Dengan angka yang terus bertambah setiap harinya, Covid-19 harusnya menjadi hal yang ditakuti saat ini. Beragam kebijakan diambil masing-masing negara untuk memberikan perlindungan terbaik bagi masyarakat. Berharap penyebaran virus ini bisa dihentikan dan semua segera pulih.
Kebijakan utama yang diambil di seluruh dunia untuk memutus rantai enyebaran virus ini adalah dengan memberlakukan Social distancing, Work From Home (WFH), Self Quarantine yang berarti selurunya diminta mengurangi hingga meniadakan aktivitas di luar rumah. Praktis kebijakan ini membuat perubahan besar dari kebiasaan dan gaya hidup masyrakat di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia. Seluruh sekolah dan perkuliahan dilaksanakan dari rumah, berbagai kantor mengikuti peraturan ini dengan merumahkan karyawan dan melakukan pekerjaan di rumah semaksimal mungkin.
Hari-hari awal pelaksanaan bekerja dan belajar dari rumah pasti disambut baik oleh mereka yang beranggapan ini adalah kesempatan untuk “libur”. Anak-anak sekolah bisa bangun siang, atau main game seharian. Tetapi saat sudah lebih dari satu minggu berlalu. Ada hal yang justru mengganggu dari kebijakan dari rumah ini. BOSAN, adalah kata yang mulai menjadi momok bagi semua orang. Dari 70% aktivitas yang biasa dihabiskan di luar umah, lalu sekarang praktis 90-95% dilakukan sepenuhnya dari rumah, pasti membuat bosan yang teramat sangat.
Terbukti bahkan di hari-hari ini masih banyak masyarakat yang nekat menuju ke lokasi wisata, bermalam di vila, atau masih memaksakan diri berkumpul dengan keluarga dengan dalih bosan. Sungguh bukan hal yang baik dilakukan disaat seperti sekarang ini. Tetapi bosan mampu merubah banyak hal dari usaha menyelamatkan diri yang tidak diikuti dengan kesadaran penuh masyarakat. Pertanyaan berikutnya adalah, mana yang harus berlaku dan diprioritaskan? Apakah keselamatan harus dikesampingkan hanya karena bosan? Atau jusrtu temukan cara menikmati situasi mebosankan ini menjadi hal yang positif. Dari keduanya jelas tidak ada opsi yang mendukung menurunnya kesadaran pentingnya #stayathome. Karena denagn begitu, kesempatan hidup meningkat, penyebaran vitus menurun.
Kita mampu untuk tetap berkualitas dengan bekerja dan belajar dari rumah. Kita bisa menemukan banyak cara lain untuk mengelola waktu dengan lifestyle yang berbeda. Dengan gaya hidup “baru” dari rumah, yang mampu menjaga semuanya dari kemungkinan yang buruk. Stay at home means stay save. (EM)