Cognitive Dissonance Theory Part I

Cognitive Dissonance Theory (DCT) atau Teori Disonansi Kognitif adalah teori yang menjelaskan tentang perasaan tidak nyaman yang dimiliki seseorang ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Teori ini ditemukan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 dan disonansi sendiri berarti ketidakseimbangan, yang merupakan lawan kata dari konsonansi yang berarti seimbang.  

Contoh dari teori ini misalnya seperti Agatha, seorang penganut Katolik taat yang mendukung hak perempuan melakukan aborsi karena pemerkosaan. Jika merujuk pada keyakinan agamanya, tentu saja aborsi tidak diperkenankan dan merupakan salah satu dosa besar. Ia mengetahui dan menyakini hal tersebut. Tetapi di sisi lain Agatha juga bersimpati kepada perempuan korban pemerkosaan yang hamil tidak atas dasar consent atau persetujuan darinya, melainkan karena paksaan orang lain. Oleh karena itu Agatha beranggapan bahwa perempuan itu memiliki hak untuk tidak meneruskan kehamilannya dengan cara aborsi. Di dalam diri Agatha terdapat pergolakan batin yang kuat dan timbul perasaan tidak nyaman yang disebut juga sebagai disonansi kognitif. 

Disonansi dapat dikatakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, karena itu umumnya kita berupaya untuk menghindari hal tersebut. Untuk menghindari disonansi, biasanya kita akan melakukan hal-hal berikut ini: 

  • Tidak memperdulikan pandangan yang berlawanan dengan pandangan kita. 
  • Mengubah keyakinan kita terhadap sesuatu agar sesuai dengan tindakan kita. 
  • Mencari hal yang dapat meyakinkan kita kembali setelah membuat keputusan sulit, seperti berpihak pada hal yang berbeda dengan yang kita yakini sebelumnya.


Oleh: 
 

Adhi Murti Citra Amalia H., S.Ant., M.Med.Kom. 

Sumber:  

West & Turner. (2009). Introducing Communication Theory: Analysis and Application. Mc-Graw-Hill. New York.