Gadamer dan Hermeneutika

Jika anda membaca biografi para FIlsuf Eropa, sekilas terlihat kesamaan, yaitu sama-sama punya resistensi, atau istilah Surabayanya itu “mbanggel”. Gademer pun demikian. Dia memang tumbuh besar di lingkungan akademik, dimana ayahnya adalah seorang Rektor di salah satu Universitas di Malburg, German. Sang ayah mengarahkan ke ilmu pasti, sedang Gadamer menolaknya karena serius sekali belajar ilmu humaniora. Pada tahun 1922 memperoleh gelar Doktor Filsafat dengan berbekal sebagai seorang Neo-Kantian, pengikut pemikiran Imanuel Kant.

Perhatian Gadamer lebih arah ontologis daripada epistemologis. Di tahun 1989, dia menerbitkan buku berjudul Truth and Method. Sikap kritisnya sangat terlihat di buku tersebut. Ia mempertanyakan mengapa pendekatan-pendekatan modern terhadap humaniora itu mengikuti model ilmu-ilmu alam, dengan mengunakan metode ilmiah yang cukup ketat.

Kritik Gadamer terhadap sains diarahkan pada gagasan bahwa kebenaran sains tidak mewakili seluruh kebenaran dunia, dan juga bukan satu-satunya kebenaran yang harus dicari.

Analisisnya terhadap kondisi sejarah yang memunculkan metode ilmiah menunjukkan adanya tradisi sejarah dan budaya yang lain. Dominasi metode ilmiah mengakibatkan ilmu-ilmu kemanusiaan mengingkari hakikat sejarahnya sendiri.

Mengikuti Heidegger dan Husserl, Gadamer menolak pandangan Cartesian modern bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan menghilangkan semua jejak pengaruh subyektif dan budaya untuk menemukan titik awal pengetahuan yang ‘murni’.

Buku tersebut juga mencerminkan puncak dari penyelidikan seumur hidup Gadamer terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang interpretasi.

Teori-teori interpretasi selalu identik sebagai studi peripheral yang terbatas pada bidang teologi, hukum dan sastra. Padahal menurut akar sejarahnya, kemampuan manusia untuk melakukan interpretasi ini sangat diagungkan oleh filsuf Yunani.

Pertanyaan tentang interpretasi biasanya termasuk dalam wilayah yang dikenal sebagai hermeneutika. Kata hermeneutika memiliki sejarah lama dan etimologinya berasal dari kata Yunani hermeneium, yang berarti ‘menafsirkan’.

Hermeneutika berkaitan dengan semua aktivitas manusia, dari sains hingga seni; disiplin ini berkaitan dengan upaya manusia untuk memahami dunia dan kemanusiaan itu sendiri, karena semua pemahaman manusia hanya dapat terjadi dalam Bahasa. Kontribusi Gadamer pada hermeneutika bukanlah menawarkan teori interpretasi baru yang bersaing dengan teori interpretasi lainnya.

Gadamer menawarkan konsep peleburan cakrawala. Manusia di masa sekarang, dalam pandangan hermeunetika Gadamer, memiliki leburan cakrawala masa lalu yang diakumulasi secara terus menerus dalam berbagai proses interpretasi.

Tidak ada kebenaran mutlak dalam filsafat, yang muncul di kehidupan manusia adalah dinamika upaya pencarian kebenaran. Dalam hal tersebut, Gadamer melihat hermeneutika sangat berandil dalam perdebatan kebenaran historis, kebenaran ahistoris, kebenaran kontekstual ataupun kebenaran objektif. Maka, hermeneutika Gadamer merupakan refleksi kritis terhadap pemahaman dan interpretasi yang berlandaskan ontologi keterbatasan logika.

Radityo Widiatmojo