Umberto Eco, Serie A dan Remaja 1990an
Umberto Eco dikenal sebagai seorang kritikus asli Itali yang penasaran akan ilmu semiotika serta seorang novelis yang numero uno. Berteman baik dengan teoris semiotika yang legendaris, yaitu Roland Barthes. Eco mendeskripsikan teman baiknya itu sebagai seorang yang selalu menulis dengan indah dan fantastis. Eco, di satu sisi mulai menulis novel pada usia yang tergolong tidak muda, yaitu 48 tahun. Di sisi lain, usia tersebut adalah usia matang dan kenyang akan pengalaman. Di usia muda, sebenarnya Eco sering menulis untuk para musisi di Italia. Seiring usia, Eco mulai tertarik menuangkan story telling melalui novel. Karya paling fenomenal adalah The Name of Rose di tahun 1980.
Pada tahun yang sama, Liga Italia dinasbihkan sebagai liga yang terberat di Eropa. Bintang sepak bola dunia seperti Michele Platini, Diego Maradona, Marco van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Jurgen Klinsmann dan Lothar Matthaus mulai bermain di tanah kelahiran Umberto Eco. Hal yang paling menantang dari liga Italia saat itu adalah betapa kerasnya menembus garis pertahanan setiap tim di Serie A. Data dari Skysprot menunjukkan bahwa di tahun 1984/1985 rerata gol di setiap pertandingan hanya berkutat di angka 2,4 goal/match. Angka ini menunjukkan sistem pertahanan grendel yang sungguh luar biasa dari tim-tim di Italia.
D tahun 1984 pula, Umberto Eco menerbitkan buku yang cukup prestisius berjudul Semiotic and The Philosophy of Language. Buku yang terbit 5 tahun setelah sahabatnya bernama Roland Barthes menulis buku fenomenal, Lucida Camera. Kecintaan Umberto Eco terhadap sastra membuat dirinya seorang kritikus yang luar biasa. Dia hendak memetakan artefak dari budaya-budaya tinggi dan juga budaya-budaya yang menjadi konsumsi masal atau lebih dikenal sebagai budaya pop.
Masuknya pemain top dunia di Italia, menjadikan sepak bola Italia penuh warna. Gaung liga Italia juga berdengung di Indonesia. Pada tahun 1990an, RCTI menjadi stasiun TV pertama yang menayangkan Serie A di layar kaca. Berdampingan dengan tabloid Bola, di tahun 1990 masyarakat Indonesia mulai menggandrungi Serie A, dicari dan dikonsumsi. Poster-poster pemain terkenal mulai dijual di kota-kota. Remaja 90an pasti mengalami masa kejayaan poster pemain sepak bola, yang lantas dipasang di kamar. Itu artinya terjadi produksi masal, yang dalam konsepsi Umberto Eco itu terjadi sebuah wacana.
Serie A menciptakan budaya-budaya baru di Indonesia. Teman-teman sebaya saya, ramai-ramai mengkoleksi jersey bertuliskan nama favorit mereka. Bahkan dalam memainkan game PC FIFA 1994, Serie A menjadi pilihan utama. Yang berduit, nonton bareng Serie A di cafe. Di sisi lain, warung kopi pinggir jalan begitu tampak hidup di akhir pekan karena juga menyediakan TV analog kecil 14″ untuk ditonton bersama sambil menyeruput kopi. Sekilas, Liga Italia Serie A ini menjadi sebuah budaya pop di Indonesia, karena selain dicari dan dikonsumsi juga diproduksi secara masal. Menggerakkan perekonomian dan terlihat menggeliat. Produksi masal Serie A di tahun 1990an meliputi poster, jersey, game, pernik, peralatan tulis, post card, tanggalan, cover buku tulis dan lain sebagainya. Namun yang tidak terlihat adalah aspek pertukaran simbolik yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam buku Semiotic and The Philosophy of Language, Eco memaparkan bahwa di dunia terdapat signun (tanda-tanda) yang menjadi sebuah sistem yang tidak terlihat. Eco mengistilahkannya sebagai Content Nebula, dimana terjadi kompleksitas komunikasi di dalam sebuah sistem tanda serta di dalam sebuah pertukaran simbol. Dengan membeli apapun terkait Serie A, yang dibeli bukan hanya sebuah barang, namun juga membeli simbol-simbol yang bersemat didalamnya.
Jersey Juventus dengan nama Alessandro Del Piero, bukan sekedar perkara mengidolakan Del Piero sebagai striker muda berbahaya Italia. Namun lebih ke perkara sejarah yang tidak nampak, yaitu bergesernya Roberto Baggio sebagai bintang Juventus, bahkan sampai pindah klub. Del Piero adalah simbol mimpi dan imajinasi anak muda saat itu. Wajah tampan, gocekan bagaikan dansa khas Rusia, umpan matang serta kemampuan mencetak gol dengan kaki kanan maupun kaki kiri adalah skill yang nampak pada Del Piero. Dengan menggunakan Jersey Del Piero, fans seolah akan merasa seperti Del Piero. Fans menukar imajinasi mereka dengan jersey yang mereka kenakan. Ada kebanggaan tersendiri main sepak bola dengan jersey tersebut, walaupun tidak bisa mencetak gol ataupun tidak mampu memenangkan pertandingan. Pertukaran unik inilah yang membuat budaya pop begitu diterima masyarakat luas.
Eco memang kritikus, namun pemikiran Eco juga menempatkan budaya pop sebagai budaya yang berdampingan dengan budaya lokal. Nonton bareng adalah contoh paling klasik dari pemikiran ini. Masyarakat kita ini dikenal sifat kolektifisnya. Kebersamaan menjadi aspek yang kental di kehidupan masyarakat. Sama kentalnya dengan secangkir kopi yang diseruput pada waktu nonton bareng Serie A di warung kopi pinggir jalan. Rukun, guyup, sekaligus pisuhan persahabatan terdenganr dari penggemar tim yang berbeda.
Seiring perjalanan waktu, Serie A meredup gaungnya karena kalah bersaing dengan Premier Leaguer. Setidaknya Serie A tetap menjadi budaya pop remaja generasi 1990an, dimana orang-orang di generasi itu sekarang sudah banyak yang menjadi CEO, enterpreneur ataupun pekerja swasta dan negeri.