7 Tipe Konten yang bersifat Misinformasi dan Disinformasi
Bangun tidur, lihat konten. Mau makan, ngintip konten. Mau tidur, lihat konten lagi. Dibalik konten-konten yang kita konsumsi (baik itu yang sifatnya informatif, edukatif, persuasif), berseliweran pula konten-konten yang bersifat misinformasi dan disinformasi. Untuk itu perlu kemampuan literasi digital yang baik. Dalam modul Literasi Digital yang dipublikasikan oleh Aliansi Jurnalis Independe bekerjasama dengan Google News Inisiative, dijelaskan bahwa terdapat 7 tipe konten misinformasi dan diinformasi yang perlu kita ketahui.
Pertama, Satire/Parodi. Memang konten lucu-lucuan terkadang dibuat tanpa niat merugikan. Namun seiring perjalanan konten tersebut terus menerus di share, bisa berpotensi menimbulkan mispersepsi di tengah masyarakat yang kurang sadar akan literasi digital. Konten lelucon bisa dianggap sangat serius sehingga timbul polarisasi, atupun kebencian. Maka kita harus berhati-hati dalam merespon konten-konten yang bersifat parodi. Disisi lain, konten satire biasa juga digunakan untuk melakukan kritik sosial. Lagi-lagi, walaupun niat awalnya baik, namun tidak selalu dianggap demikian oleh masyarakat yang masih awam tentang literasi digital.
Kedua, Konten menyesatkan (misleading). Tipe ini menggunakan secuil informasi yang digunakan untuk membangun sebuah isu ataupun menyerang seseorang atau institusi. Contohnya: gambar tangkapan layar dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang disertai teks “Wapres: Vaksin Merupakan Perintah Agama dan Hukumnya Wajib, Menolak Masuk Neraka“. Faktanya, Wapres menyebutkan bahwa vaksinasi merupakan kewajiban agam untuk mengakiri pandemi. Tidak pernah ada pernyataan masuk neraka sama sekali. Konten seperti ini berpotensi menyesatkan pembacanya.
Ketiga, Konten Asli tapi Palsu (Tiruan). Biasanya konten seperti ini menggunakan tampilan visual yang mirip dengan sumber resmi yang kredibel. Pernah lihat kan tangkapan layar yang berisi Surat dengan Kop Resmi dari Kimia Farma? Itu hanya salah satu contoh betapa mudahnya orang-orang membuat surat “palsu” tapi tampak resmi. Jika dilihat dari konteks komunikasi organisasi, surat resmi itu adalah instrumen resmi yang mengabarkan kepada pihak internal atauoun eksternal, disertai dengan ciri khas tertentu. Beda organisasi beda pula cara penulisan surat. Jadi jangan mudah percaya jika ada yang menyebarkan surat edaran.
Keempat, Konten Fabrikasi (Fabricated). Konten ini sengaja dibuat dengan tujuan menipu dan menyesatkan pembaca. September 2021 silam, sempat ada informasi Presiden Indonesia ke-lima, Megawati Soekarnoputri meninggal. Informasi tersebut menyebar dalam berbagai platform media sosial dalam bentuk video dan foto. Setelah melalui cek fakta, video tersebut adalah potongan peristiwa lama dari prosesi pemakaman Rachmawati Soekarnoputri, adik Megawati yang meninggal pada 3 Juni 2021.
Kelima, Konten yang tidak nyambung. Judulnya apa, dalamnya apa. Begitulah konten yang bersifat clickbait. Selalu dituliskan judul yang membuat masyarakat penasaran nge-klik, padahal tidak ada fakta sama sekali yang tersaji. Konten seperti ini cenderung dibuat oleh website yang memiliki domain yang aneh-aneh, semacam dot info, dot xyz.
Keenam, Konten yang dimanipulasi. Konten ini menggunakan instrumen visual berupa foto/video yang dipenggal, dipotong dan diedit untuk kepentingan tertentu.
Ketujuh, Konten dengan Konteks yang Salah. Videonya apa, narasinya apa. Kira-kira singkatnya demikian. Potongan video, potongan foto, potongan pidato, ataupun konten yang memuat durasi yang singkat tidak akan bisa menggambarkan konteks secara utuh. Informasi yang sifatnya sepenggal itu jangan langsung dipercaya. Perlu di cek lagi kebenarannya.
Penting bagi kita, mahasiswa komunikasi untuk mengetahui tipe konten yang menyesatkan ini, agar tidak termakan Hoak. Dan tentunya, dengan pemahaman ini, kita bisa menjadi agen untuk meng-counter misinformasi yang beredar di tengah masyarakat.