Identitas Relasional, Komunikasi nonverbal dan World Press Photo

Esensi foto jurnalistik sejatinya tentang manusia, maka dari itu unsur kemanusiaan menjadi poin utama. Cerita tentang manusia ada dimana-mana. Tentang prestasi manusia, perilaku, hasil temuan manusia, kerusakan akibat keserakahan manusia, sifat ketokohan manusia, bencana alam akibat ulah manusia, perang antar umat manusia. Apapun yang terjadi di bumi ini adalah tentang manusia. Namun yang sering dilupakan adalah darimana asal manusia tersebut. Setiap manusia yang dibekali berbagai budaya sehingga menjadi seorang individu hadir dari sebuah ‘Keluarga’. Apapun yang dilakukan oleh manusia, suatu saat pasti akan kembali kepada keluarganya. Dalam sebuah keluarga lahir identitas relasional, ibu-ayah, ibu-anak, bapak-anak, keponakan, sepupu dan seterusnya. Setiap manusia memiliki keluarga, dan setiap manusia memiliki rasa empati terhadap sesamanya.

Seperti yang disampaikan oleh Seno Gumira bahwa foto adalah sebuah dunia, maka foto itu akan berbicara tentang apapun yang ada didalamnya. Artinya, sebuah foto berkomunikasi dengan pemirsanya. Jika didalam foto tersebut terdapat perempuan dan seorang anak, apakah foto anda yakin ibu dan anak tadi memiliki identitas relasional, setidaknya hubungan keluarga? Memang dalam konteks foto jurnalistik, pemirsa juga wajib membaca caption agar tidak salah informasi. Namun dalam foto Paula Bronstein, tanpa membaca caption pun anda sudah mengerti bahwa konten utama dalam foto tersebut adalah hubungan keluarga. Hubungan relasional tersebut lahir dari bahasa tubuh sebagai alat komunikasi utama dalam foto Paula Bronstein.

Jika anda memposisikan diri saat melihat foto diatas sebagai orang tua, maka rasa empati akan hadir dalam benak anda. Betapa pilunya ketika anak sedang sakit, apalagi luka permanen seperti ini. Pedih, sungguh pedih ketika anda melihat ‘dunia’ yang sama dengan yang ada di dalam foto Paula Bronstein. Apa yang menggerakkan perasaan pilu ini? Tak lain adalah bentuk komunikasi nonverbal, yaitu bahasa tubuh manusia.
Perjuangan seorang ibu melahirkan seorang anak adalah perjuangan hidup dan mati. Membesarkan anak adalah kewajiban yang pasti, butuh pengorbanan dan perjuangan seumur hidup. Anak adalah harta paling berharga bagi setiap keluarga. Foto Paula Bronstein menampilkan seorang perempuan bernama Najiba menimang keponakannya Shabir (2 tahun) yang diperban kepalanya serta kehilangan anggota tubuhnya. Posisi Najiba bersila, menundukkan kepalanya sembari diterangi cahaya matahari yang menembus jendela rumah sakit di kota Kabul, Afganistan. Shabir mengenakan baju biru bermotif beruang lucu, simbol keceriaan anak yang berusia 2 tahun. Tangan kiri Najiba menahan kepala, seolah tidak percaya mengapa keponakannya ditakdirkan menjadi korban kekejaman perang. Jam tangan yang melingkar di tangan kiri menjadi saksi berhentinya waktu kala Shabir tidur dari keceriaannya. Latar belakang yang gelap mewakili masa lalu Afganistan yang gegap, cahaya matahari yang hangat menerangi wajah Shabir menandakan masa depan dan penuh dengan harapan. Eksekusi foto pun dilakukan dengan komposisi yang sangat sederhana, eye level, dengan sudut pengambilan yang tidak menukik-nikuk.
Nilai keluarga dalam foto ini sangatlah kuat. Pesan yang hendak dikomunikasikan oleh Paula sangatlah lugas. Jelas foto ini lahir dari seorang fotografer yang sudah kaya akan literasi visual. Cobalah tengok profil Paula di website pribadinya: “Bronstein’s work reflects a dedicated humanitarian and visual war correspondent finding visual moments nobody else would dare look for, as she brings a voice to those who have none”. Paula sengaja menyajikan nilai-nilai kemanusiaan yang lahir dari sebuah identitas relasional yang bernama keluarga. Hadirnya foto ini sebagai pemenang, sekali lagi mengingatkan dunia bahwa keluarga adalah bagian terpenting dalam hidup, karena keluarga sanggup memberikan harapan baru.

Melihat foto Paula ini seperti melihat foto-foto World Press tahun-tahun sebelumnya. Ada sebuah tradisi dimana hubungan keluarga menjadi titik penting dalam perlombaan foto jurnalistik terbesar ini. Coba tengok karya Jean-Marc Bouju tahun 2003 yang memonjolkan hubungan bapak-anak di sebuah penjara di Irak. Adapun karya Samuel Aranda di tahun 2011, yang secara jelas memaparkan hubungan relasional ibu dan anak di Yaman. Dan masih banyak foto-foto WPP lainnya yang memperlihatkan identitas relasional. Jika foto-foto mereka disandingkan, akan terlihat berbagai persamaan dalam segi visual.

Maka dengan memahami komunikasi noverbal, faktor sosial, faktor budaya, dan faktor psikologis dalam sebuah keluarga, diharapkan akan lahir foto-foto yang mengundang kedekatan antar umat manusia. Karya-karya foto jurnalistik yang menyentuh justru lahir dari sisi yang jarang dijamah secara personal.

Radityo Widiatmojo