Panduan Sederhana Menerapkan Analisis Wacana Kritis pada Media Sosial
Dalam era digital, media sosial menjadi ruang utama untuk menyampaikan opini, menyebarkan informasi, dan membentuk wacana publik. Namun, tidak semua yang beredar di media sosial dapat dipercaya begitu saja. Di sinilah Analisis Wacana Kritis (AWK) berperan. AWK adalah metode analisis yang digunakan untuk memahami bagaimana bahasa digunakan untuk membangun, mempertahankan, atau menantang kekuasaan dalam komunikasi. Dalam konteks media sosial, AWK membantu kita melihat lebih dalam bagaimana narasi tertentu dikonstruksi, siapa yang mendominasi percakapan, dan apa dampak dari wacana tersebut terhadap masyarakat.
Sebagai contoh, mari kita lihat bagaimana wacana tentang kenaikan harga BBM di Indonesia berkembang di media sosial. Saat pemerintah mengumumkan kebijakan tersebut, muncul berbagai reaksi dari publik. Media arus utama menggunakan istilah seperti “penyesuaian harga untuk stabilitas ekonomi”, sementara oposisi politik dan netizen menggunakan frasa “kenaikan BBM menyengsarakan rakyat”. Dengan AWK, kita bisa melihat bagaimana pilihan kata ini tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membangun narasi yang menguntungkan kelompok tertentu.
Langkah pertama dalam menerapkan Analisis Wacana Kritis adalah mengidentifikasi aktor yang terlibat dalam wacana. Di media sosial, aktor ini bisa berupa pemerintah, media, influencer, atau masyarakat umum. Dalam kasus kenaikan BBM, kita melihat bagaimana akun-akun pemerintah berusaha membangun narasi bahwa kenaikan harga diperlukan demi keseimbangan fiskal. Sementara itu, aktivis dan politisi oposisi membangun narasi tandingan dengan menyoroti dampak negatif bagi masyarakat kecil.
Langkah kedua adalah mengamati bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk opini. Misalnya, ketika media menyebut kenaikan harga BBM sebagai “penyesuaian harga”, ada usaha untuk meredam reaksi negatif. Sebaliknya, frasa seperti “beban rakyat semakin berat” yang sering muncul dalam unggahan netizen bertujuan membangun sentimen ketidakpuasan. Melalui AWK, kita bisa memahami bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga strategi untuk membangun opini publik.
Langkah ketiga adalah melihat bagaimana wacana tersebut berkembang dan berubah. Di media sosial, wacana bisa berubah dengan cepat tergantung pada isu yang sedang berkembang. Jika ada peristiwa besar yang terkait—misalnya aksi demonstrasi—narasi yang mendominasi bisa bergeser dari sekadar kritik kebijakan menjadi tuntutan perubahan yang lebih besar.
Salah satu studi kasus menarik adalah gerakan #GejayanMemanggil pada 2019. Gerakan ini awalnya hanya diskusi kecil di Twitter, tetapi dengan cepat berkembang menjadi aksi demonstrasi besar. Dalam analisis wacana kritis, kita bisa melihat bagaimana bahasa yang digunakan dalam unggahan Twitter dan poster digital memainkan peran penting dalam membentuk solidaritas dan membangun urgensi.
Langkah keempat adalah menganalisis siapa yang diuntungkan atau dirugikan dari wacana yang berkembang. Dalam setiap perdebatan di media sosial, selalu ada pihak yang lebih dominan. Jika kita tidak kritis, kita bisa dengan mudah terjebak dalam narasi yang sudah dikondisikan oleh kelompok tertentu. Misalnya, dalam wacana tentang RUU Penyiaran, ada banyak unggahan viral yang menolak RUU ini, tetapi ada pula yang membela dengan alasan menjaga stabilitas informasi. Dengan AWK, kita bisa melihat kepentingan di balik setiap narasi yang muncul.
Langkah terakhir adalah menghubungkan wacana dengan realitas sosial. Wacana di media sosial tidak terjadi dalam ruang hampa; ia memiliki dampak nyata di dunia offline. Contoh nyata adalah bagaimana gerakan #BlackLivesMatter di Amerika Serikat yang awalnya viral di media sosial akhirnya berujung pada demonstrasi massal dan perubahan kebijakan di berbagai negara. Di Indonesia, gerakan #ReformasiDikorupsi juga menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi alat mobilisasi yang kuat.
Menerapkan Analisis Wacana Kritis tidak berarti kita harus selalu curiga terhadap semua informasi yang beredar. Namun, dengan memahami bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk persepsi, kita bisa menjadi pengguna media sosial yang lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang bias.
Di era di mana opini publik bisa dibentuk dalam hitungan jam, penting bagi kita untuk selalu bertanya: siapa yang berbicara, dengan tujuan apa, dan bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk realitas? Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga analis yang mampu melihat lebih dalam bagaimana wacana dikonstruksi di media sosial.
Dengan memahami dan menerapkan Analisis Wacana Kritis, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi tren, isu politik, dan gerakan sosial yang muncul di dunia digital. Jadi, mulai sekarang, saat Anda membaca atau membagikan sesuatu di media sosial, tanyakanlah: Apakah saya hanya mengonsumsi wacana, atau benar-benar memahaminya?
Photo by Kenny Eliason on Unsplash
Comments :