Apa yang Tidak Dikatakan di Media Sosial?

Media sosial sering kali digambarkan sebagai ruang terbuka di mana siapa pun bisa berbicara tentang apa saja. Namun, apakah benar semua hal bisa dikatakan di media sosial? Nyatanya, ada banyak hal yang justru tidak dikatakan—baik karena sengaja disembunyikan, diabaikan, atau tertutupi oleh narasi yang lebih dominan.
Kita sering melihat orang-orang membagikan pencapaian mereka di Instagram, seperti mendapatkan beasiswa, membeli rumah baru, atau liburan ke luar negeri. Tapi, apakah mereka juga membagikan perjuangan di balik itu? Jarang sekali kita melihat unggahan tentang kegagalan, utang, atau stres karena pekerjaan. Inilah yang disebut dengan curated reality—di mana hanya sisi terbaik yang ditampilkan, sementara realitas yang lebih kompleks dan sulit sering kali disembunyikan.
Di Indonesia, fenomena ini bisa dilihat dalam tren flexing, di mana seseorang memamerkan kekayaan mereka di media sosial. Mulai dari mobil mewah, barang bermerek, hingga saldo rekening fantastis ditampilkan untuk membangun citra sukses. Namun, yang sering tidak dikatakan adalah bagaimana mereka mendapatkan kekayaan itu—apakah dari kerja keras, warisan, atau bahkan skema investasi yang meragukan?
Selain itu, media sosial juga sering kali menyembunyikan kompleksitas isu sosial dan politik. Misalnya, dalam diskusi tentang kebijakan pemerintah, kita sering melihat narasi yang terpecah: satu pihak mendukung sepenuhnya, sementara pihak lain menolak tanpa kompromi. Padahal, di luar itu ada banyak nuansa dan perspektif yang tidak masuk dalam perdebatan karena tidak sesuai dengan narasi yang sedang tren.
Contoh kasus yang menarik adalah perdebatan tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur. Di media sosial, narasi yang mendominasi adalah antara pendukung yang menyebutnya sebagai langkah modernisasi dan lawan yang menganggapnya sebagai proyek ambisius tanpa perencanaan matang. Namun, yang sering tidak dikatakan adalah bagaimana masyarakat lokal benar-benar merasakan dampaknya—apakah mereka mendapatkan manfaat atau justru harus kehilangan tanah mereka?
Fenomena ini juga terlihat dalam gerakan sosial seperti #MeToo atau #BlackLivesMatter yang berkembang secara global. Di Indonesia, gerakan serupa seperti #MulaiBicara muncul untuk mengungkap kasus pelecehan seksual. Namun, ada banyak korban yang tidak bersuara karena takut terhadap stigma atau kurangnya dukungan hukum yang jelas. Hal-hal ini sering tidak dikatakan di media sosial karena ada risiko sosial yang besar dalam membicarakannya.
Hal lain yang sering diabaikan adalah dampak kesehatan mental dari media sosial itu sendiri. Banyak penelitian menunjukkan bahwa konsumsi media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan kecemasan dan depresi, terutama jika seseorang terus-menerus membandingkan dirinya dengan kehidupan “sempurna” yang ditampilkan orang lain. Namun, diskusi tentang kesehatan mental sering kali kalah dengan tren yang lebih ringan dan menghibur.
Di balik narasi besar yang mendominasi media sosial, ada juga kepentingan algoritma yang tidak selalu kita sadari. Konten yang mendapat banyak perhatian bukanlah yang paling penting atau akurat, tetapi yang paling menarik dan mengundang keterlibatan (engagement). Ini membuat informasi yang viral sering kali lebih emosional atau kontroversial daripada yang benar-benar memberikan pemahaman mendalam.
Dalam politik, strategi ini juga digunakan untuk membangun citra atau menyerang lawan. Misalnya, dalam kampanye pemilu, kandidat sering kali hanya menampilkan sisi terbaik mereka di media sosial, sementara sisi kontroversial atau kebijakan yang tidak populer jarang dibahas. Sebaliknya, lawan politik mungkin menggunakan strategi serangan dengan menyebarkan informasi yang tidak lengkap atau bias.
Lalu, bagaimana kita bisa lebih kritis terhadap apa yang kita lihat di media sosial? Salah satu cara adalah dengan bertanya: siapa yang diuntungkan dari narasi ini? Apakah ada sisi lain dari cerita yang belum diceritakan? Dengan pendekatan ini, kita bisa lebih memahami bahwa media sosial bukanlah representasi penuh dari realitas, tetapi hanya potongan-potongan yang dikurasi untuk tujuan tertentu.
Kesadaran ini penting agar kita tidak mudah terjebak dalam ilusi media sosial. Apa yang tampak sempurna bisa jadi hanya bagian kecil dari cerita yang lebih besar. Begitu pula dengan isu sosial dan politik—banyak hal yang terjadi di balik layar dan tidak semuanya dapat dilihat dalam satu unggahan atau utas X (Twitter).
Jika dilihat lebih jauh, media sosial memang memberikan kebebasan berbicara, tetapi ada banyak hal yang tetap tidak dikatakan. Baik karena alasan pribadi, sosial, atau bahkan karena algoritma, selalu ada sisi lain dari cerita yang tidak kita lihat. Dengan memahami ini, kita bisa menjadi pengguna media sosial yang lebih cerdas, kritis, dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang tampak dominan.
Photo by Nicholas Bartos on Unsplash