Diskursus Media Sosial: Siapa yang Mendominasi?

Media sosial telah menjadi arena utama dalam membentuk opini publik. Setiap hari, jutaan unggahan bersaing untuk mendapatkan perhatian, dan dalam prosesnya, beberapa pihak mampu mendominasi percakapan. Namun, siapa sebenarnya yang memiliki kekuatan dalam diskursus media sosial? Apakah individu, kelompok tertentu, atau justru algoritma yang menentukan siapa yang lebih didengar?
Dalam berbagai penelitian, ditemukan bahwa aktor yang mendominasi media sosial bukan hanya mereka yang memiliki banyak pengikut, tetapi juga mereka yang mampu mengelola narasi dengan strategi yang tepat. Influencer, media berita, dan politisi sering kali menjadi tiga pihak utama yang mendikte percakapan publik. Namun, dominasi ini tidak selalu mencerminkan kebenaran, melainkan lebih pada siapa yang memiliki kendali atas algoritma dan tren.
Salah satu contoh yang sedang trending di Indonesia adalah diskursus tentang revisi Undang-Undang Penyiaran. Sejak beberapa bulan terakhir, tagar seperti #TolakRevisiUUPenyiaran ramai di X (Twitter) dan Instagram, dengan berbagai pihak menyuarakan kekhawatiran tentang ancaman kebebasan pers. Yang menarik, meskipun banyak aktivis dan jurnalis yang mengangkat isu ini, dominasi narasi tetap dipegang oleh akun-akun pemerintah yang menyampaikan sudut pandang mereka melalui media arus utama dan kampanye digital.
Kasus lain yang menunjukkan dominasi diskursus di media sosial adalah polemik konser Coldplay di Jakarta. Ketika tiket konser diumumkan, perdebatan muncul antara mereka yang mendukung konser sebagai bagian dari industri hiburan global dan kelompok yang menentangnya karena alasan ideologi. Dalam kasus ini, kelompok oposisi yang jumlahnya lebih kecil justru mendapatkan porsi pemberitaan yang besar, menunjukkan bagaimana isu yang kontroversial dapat dimanfaatkan untuk mendominasi diskursus publik.
Fenomena lain yang menarik adalah tren boikot produk tertentu yang muncul setelah konflik geopolitik di Timur Tengah. Tagar #Boikot menjadi tren di berbagai platform, dengan warganet menyerukan aksi boikot terhadap merek yang dianggap berpihak pada salah satu kubu. Dalam diskursus ini, akun-akun besar dengan kecenderungan politik tertentu memainkan peran besar dalam membentuk opini publik, sementara informasi faktual tentang dampak ekonomi boikot justru tenggelam dalam arus emosional yang diciptakan oleh media sosial.
Dari ketiga contoh di atas, terlihat bahwa dominasi diskursus di media sosial tidak selalu mencerminkan suara mayoritas, melainkan suara yang paling keras dan paling sering muncul di lini masa. Algoritma platform juga memperkuat dominasi ini dengan memprioritaskan konten yang paling banyak berinteraksi, bukan yang paling informatif atau objektif.
Lalu, bagaimana cara individu atau kelompok kecil bisa bersaing dalam diskursus media sosial? Salah satu strategi yang efektif adalah menggunakan konten yang visual dan emosional, karena penelitian menunjukkan bahwa konten semacam ini lebih mudah viral. Kampanye sosial yang berhasil biasanya tidak hanya mengandalkan fakta, tetapi juga menggunakan narasi yang menggugah perasaan audiens.
Selain itu, kolaborasi antarindividu atau komunitas dapat memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Contoh suksesnya adalah gerakan #ReformasiDikorupsi yang menjadi tren pada 2019. Dengan memanfaatkan jaringan mahasiswa, aktivis, dan influencer, gerakan ini mampu mendominasi diskursus di media sosial dan mendorong aksi nyata di dunia offline.
Namun, dominasi dalam diskursus media sosial juga memiliki risiko. Ketika sebuah narasi terlalu kuat, sering kali tidak ada ruang bagi perspektif lain untuk berkembang. Hal ini menciptakan echo chamber, di mana audiens hanya terekspos pada sudut pandang yang mereka setujui, tanpa ada perdebatan yang sehat.
Pada akhirnya dominasi dalam diskursus media sosial bukan hanya tentang siapa yang memiliki suara terbesar, tetapi juga tentang bagaimana strategi komunikasi dan algoritma bekerja. Di era digital ini, menjadi kritis terhadap informasi yang beredar menjadi lebih penting dari sebelumnya. Tidak semua yang viral adalah kebenaran, dan tidak semua yang mendominasi percakapan adalah representasi dari realitas sesungguhnya.
Photo by alexandra avelar on Unsplash