Bahasa dan Kekuasaan: Mengapa Pilihan Kata Penting?

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk membentuk pemikiran dan kekuasaan. Dalam kehidupan sehari-hari, pilihan kata yang digunakan dalam media, politik, dan media sosial dapat menentukan bagaimana suatu peristiwa dipahami oleh masyarakat. Sebuah kata dapat menenangkan, membakar semangat, atau justru memicu konflik.

Di dunia politik, misalnya, istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu kebijakan dapat memengaruhi bagaimana masyarakat menerimanya. Pemerintah mungkin menggunakan istilah “penyesuaian harga” alih-alih “kenaikan harga” untuk mengurangi kesan negatif. Begitu juga di media, perbedaan antara kata “demonstran” dan “perusuh” dalam pemberitaan dapat menciptakan bias dalam persepsi publik terhadap sebuah gerakan sosial.

Dalam media sosial, kekuatan bahasa terlihat dalam tren hashtag yang dapat menggerakkan massa. Kampanye seperti #ReformasiDikorupsi di Indonesia menunjukkan bagaimana pilihan kata yang tepat dapat membangun kesadaran kolektif dan menekan perubahan kebijakan. Kata “dikorupsi” menekankan adanya penyimpangan, dibandingkan jika hanya menggunakan kata “perubahan.”

Dalam penelitian linguistik kritis, disebutkan bahwa bahasa tidak pernah netral. Seorang tokoh dapat disebut sebagai “aktivis” oleh pendukungnya, tetapi sebagai “provokator” oleh pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa kata-kata yang dipilih selalu memiliki muatan kekuasaan di dalamnya.

Studi tentang bahasa dan kekuasaan juga dapat kita lihat dalam representasi gender di media. Kata-kata seperti “ibu rumah tangga” sering kali dikonotasikan sebagai pekerjaan yang kurang bernilai dibandingkan dengan “wanita karier.” Pemilihan kata ini membentuk cara pandang masyarakat terhadap peran gender dan hierarki sosial.

Begitu pula dalam dunia bisnis dan pemasaran. Kata-kata dalam iklan sengaja dipilih untuk memengaruhi emosi dan keputusan konsumen. Produk kecantikan sering kali menggunakan istilah seperti “whitening” atau “glowing” untuk membentuk standar kecantikan tertentu, yang pada akhirnya dapat menciptakan tekanan sosial bagi audiens.

Namun, bahasa juga dapat menjadi alat pemberdayaan. Gerakan feminisme, misalnya, telah mereklamasi kata “perempuan kuat” yang dulu sering diartikan negatif sebagai “keras kepala” atau “tidak feminin.” Dengan memilih kata yang tepat, sebuah kelompok dapat mengubah narasi yang selama ini digunakan untuk menekan mereka.

Dalam era digital, di mana informasi tersebar begitu cepat, penting bagi kita untuk lebih kritis terhadap kata-kata yang digunakan dalam media. Tidak hanya sekadar memahami artinya, tetapi juga menggali kepentingan di baliknya.

Oleh karena itu, bahasa sejatinya merupakan alat kekuasaan yang sangat berpengaruh. Pilihan kata dapat membentuk opini, memperkuat stereotip, atau justru menantang status quo. Dengan menyadari pentingnya bahasa, kita dapat menjadi lebih cermat dalam berkomunikasi dan lebih kritis dalam menerima informasi.

Photo by Romain Vignes on Unsplash

Radityo Widiatmojo