Ketidaksetaraan Gender: Sampai Kapan ‘Masa Berlaku’ Double Standard?
Double standard atau standar ganda kerap terjadi di dalam lingkungan sosial saat ini. Double standard merupakan penilaian moral yang berbeda kepada sebuah subjek yang meliputi perbedaan reaksi, perilaku, sikap pada sebuah fenomena atau kasus yang sama. Secara sadar maupun tidak, hal ini terjadi akibat dari pandangan atau prasangka kelompok tertentu hingga memunculkan stereotip atau pelabelan terhadap individu maupun kelompok.
Standar ganda ini bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang gender. Contohnya, jika seorang laki-laki menangis, maka ia dianggap cengeng atau lebay; sebaliknya jika seorang perempuan menangis, hal tersebut dianggap wajar karena perempuan memiliki hati yang lembut. Padahal, menangis merupakan hal yang lumrah bagi siapa saja. Pada artikel kali ini, kita akan membahas tentang standar ganda yang terjadi pada perempuan di lingkungan sosial saat ini.
Double Standard tentang Marital Status: Pernahkah mendengar kata ‘janda’? Atau mendengar seorang perempuan yang dipanggil ‘janda’? Sebagian besar masyarakat sosial memandang buruk seorang perempuan yang berstatus janda sehingga muncul beberapa label seperti seksi, kecentilan, penggoda, bahaya, bahkan ‘bekas pakai’. Berbeda dengan seorang laki-laki yang berstatus duda. Kata ‘duda’ terdengar lebih keren karena laki-laki duda dianggap lebih terpandang dan matang secara usia maupun finansial sehingga lebih disanjung oleh masyarakat. Mungkin, “Sugar Duda”? Selain itu, standar ganda juga terjadi pada orang yang belum menikah. Wanita yang berusia 30 tahun sering dicap “telat menikah” dan dianggap “kurang laku”. Hal ini berbanding terbalik dengan pria di usia yang sama, yang justru dianggap “fokus karir” dan “makin matang”. Padahal, kemantapan seseorang untuk memasuki fase pernikahan bisa saja berbeda, baik dari segi usia, finansial, maupun kesiapan lainnya.
Double Standard tentang Physical Appearance: Secara tidak langsung, hampir di setiap aspek lingkungan dan kehidupan sosial, terdapat standar-standar yang ditetapkan oleh masyarakat itu sendiri. Contohnya, di dunia model. Jika model yang ditampilkan adalah wanita berkulit berwarna tan atau gelap, seringkali masyarakat memandang sebelah mata dengan mengatakan “cewek aura magrib”, “kulit kusam”, “buruan mandi”. Sedangkan, jika model yang ditampilkan adalah lelaki berkulit tan atau gelap akan dipuji ‘hot’.
Double Standard tentang Pekerjaan Rumah Tangga: Dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, terdapat anggapan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah hal yang biasa saja bahkan terkesan sepele jika dilakukan oleh perempuan, “Ah sudah kewajiban”. Namun, jika laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sebagian besar masyarakat akan menyanjung mereka dengan kata-kata, “ Keren banget” “Idaman” hingga “Kesayangan mertua”.
Dampak Negatif Double Standard terhadap Perempuan: Banyaknya double standard maupun anggapan dan sudut pandang yang berbeda antara perempuan dan laki-laki tentu membawa dampak buruk bagi setiap orang, seperti ketidaksetaraan gender. Hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri, rasa lelah, hingga stres akibat harus memenuhi standar yang tidak adil. Parahnya, jika standar tersebut tidak terpenuhi, maka sikap semena-mena, ketidakadilan, dan pandangan rendah dapat menimpa siapapun tanpa memandang gender apapun, termasuk perempuan.
Upaya Mengatasi Double Standard terhadap Perempuan: Dalam mengatasi double standard terhadap perempuan, tentu perlu diupayakan oleh berbagai pihak. Pendidikan dan kesadaran merupakan langkah utama yang penting untuk ditingkatkan. Meningkatkan kesadaran tentang adanya stereotip dan dampak negatifnya dapat membantu mengubah persepsi masyarakat. Organisasi, perusahaan, hingga media juga perlu mengadopsi kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, seperti memberikan kesempatan yang sama untuk promosi dan pengembangan karir bagi karyawan perempuan dan laki-laki, memberikan benefit yang setara bagi karyawan perempuan dan laki-laki (cuti hamil, cuti ayah, dan program pengasuhan anak), serta mendukung perempuan yang ingin menjadi pemimpin dengan memberikan pelatihan dan networking opportunities. Tidak hanya itu, upaya mengatasi double standard tentu tidak lepas dari peran laki-laki. Laki-laki perlu menjadi tonggak dalam memperjuangkan kesetaraan gender, seperti berbagi tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga serta mendukung kebijakan kesetaraan gender yang memperkuat hak-hak perempuan sehingga dapat menciptakan kehidupan sosial yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang.
Tim Penulis dan Periset:
- Amalian Erlinda Nuraini – 2602079792
- Fayza Alifia Kamila – 2602149086
- Syahla Athalia – 2602127734
- Charolyne Abby – 2602148272
- Axxel Tan – 2602103886
- Devita Esteranza – 2602060754
- Anastashia Gabriel – 2602184694
- Aulia Visakha Dharmaputri Wijaya – 2602155504
- Istiqomah Dwi Aprilya – 2440089283
- Dewinta Aurely -2602179044