Ethics and Relativism

Etika, sebuah kata yang sering didengar ketika bersinggungan dengan perilaku manusia. Pada saat kelas Philoshophy and Ethics of Communication, mahasiswa memberi definisi singkat terkait etika, seperti “Penilaian terhadap perilaku dan sikap”, “tentang kebiasaan manusia”, “norma yang berlaku di masyarakat”, “tentang sikap sosial”, “tentang sifat yang baik dan dianggap benar”, “bentuk dari budaya atau tradisi”, dan “sesuatu yang mengatur”.

Semua jawaban mahasiswa saya tersebut dipantik oleh pengalaman personal. Secara terminologi, etika merupakan studi terkait nilai-nilai kemanusian yang terkait dengan moralitas, yang didalamnya selalu dipertanyakan apa yang baik dan buruk, apa yang benar atau salah. Pada tataran yang lebih aplikatif, etika merupakan upaya pencarian prinsip-prinsip perilaku kehidupan yang masuk akal.

Artinya, dalam diri manusia terdapat bermacam-macam keyakinan akan sebuah prinsip yang etis dan yang tidak. Filsuf asal Prancis, Rene Descartes, menyatakan bahwa setiap manusia memiliki rasio, atau akal budi yang berbeda-beda. Oleh karena itu perbedaan rasio inilah yang menyebabkan Etika memiliki kadar relativitas yang luar biasa.

Konsekuesi dari relativitas tersebut adalah muncul dua konsep teori Relativitas Moral. Pertama, Consequentialist Theory, yang mengklaim bahwa moralitas sangat tergantung dan hanya bergantung pada konsekuensi yang ada. Dalam hal ini, ego manusia memunculkan tindakan-tindakan komunikatif serta munculnya sebuah konsensus yang mengikat. Konsensus tersebut bisa berupa “peraturan”.

Kedua, Non-Consequentialist Theory, yang menyatakan bahwa moralitas tidak selalu dan tidak harus tergantung pada faktor konsekuensi yang ada, namun terdapat faktor-faktor lain. Kondisi sosial-budaya dan ekonomi sangat berpotensi mempengaruhi moralitas seseorang. Belum lagi di era digital ini, banyak sekali serbuan-serbuan konten yang mengharuskan kita melakukan filterisasi mandiri.

Dua teori diatas sebenarnya dibangun atas paradigma yang berbeda. Consequentialist dibangun atas paradigma postivistik, yang didasari oleh hubungan kausalitas sebab-akibat. Sedangkan Non-Consequentialist dekat dengan paradigma konstruktifis, dimana terdapat banyak faktor yang membangun atau mengkonstruksi moralitas.

Dalam filsafat, kerap sekali muncul pertanyaan Bagaimana aplikasi dari konsep filsafat bagi teman-teman Ilmu Komunikasi? Dalam ranah personal, konsep seperti ini sangat berguna untuk membangun karakter diri terkait bagaimana menempatkan diri di masyarakat, perilaku sosial, pemahaman atas norma yang berlaku di tempat yang asing, serta membangun nilai-nilai kesopanan dalam kehidupan sehari-hari.

Belajar filsafat, artinya belajar membaca arti, mencari makna serta bertanya tentang abtraksi yang tidak terlihat. Di sisi lain , bisa pula dijadikan dasar untuk berpikir kritis. Jadi kalau dirasa-rasa, filsafat itu pada suatu titik akan ada hasil yang manis. Begitu Bro dan Sis.

 

Salam

Photo by Tolga Ulkan on Unsplash
Radityo Widiatmojo