Menilik Faktor Komunikasi dalam Kesuksesan Yuli Sumpil sebagai Dirijen Aremania
Arema merupakan salah satu klub sepakbola besar di Indonesia yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Sebagai klub mahsyur, sudah pasti Arema memiliki suporter yang masif dan juga solid yang disebut Aremania dan Aremanita. Setiap kali Arema berlaga, klub suporter yang identik dengan warna atribut biru ini tentu ikut memeriahkan pertandingan dengan hadir memenuhi tribun dengan sorak sorainya untuk menyemangati para punggawa Arema. Oleh karena itu, dibutuhkan seseorang yang mampu memandu Aremania untuk menyanyikan yel-yel agar lebih kompak.
Yuli Sugianto atau yang biasa disapa dengan Yuli Sumpil menjadi dirigen bagi Aremania sejak tahun 1998. Sebagai dirigen, pria berumur 46 tahun itu bertugas menentukan yel-yel mana yang harus dinyanyikan, gerakan tubuh macam apa yang mesti dilakukan, dan menentukan waktu kapan Aremania harus diam atau mulai bernyanyi. Sehingga, sebagai dirigen ia tak hanya bertugas memimpin dalam hal bernyanyi atau menari, namun juga memastikan Aremania untuk tetap terkoordinir.
Komunikasi antara Yuli Sumpil dengan Aremania dapat dikategorikan ke dalam komunikasi massa. Menurut Joseph A. DeVito “Komunikasi massa adalah komunikasi yang disampaikan kepada khalayak secara langsung, bersifat dua arah, dan pesan disampaikan secara berkelanjutan kepada khalayak dalam jumlah besar”. Dalam hal ini, Yuli Sumpil dikategorikan sebagai seorang komunikator. Di mana, komunikator diharuskan memiliki kemampuan yang baik dalam hal mengerahkan dan mengendalikan khalayak yakni Aremania.
Dalam Ilmu Komunikasi, kita mengenal konsep mengenai kompetensi komunikasi yang dicetus oleh Canary, D.J dan Cody, M.J (2002) yang mencakup adaptability, conversational involvement, conversational management, empathy, effectiveness, dan appropriateness. Sebagai komunikator massa, Yuli Sumpil sudah pasti memiliki kompetensi komunikasi yang baik seperti :
Adaptability. Yuli Sumpil mampu beradaptasi dengan Aremania dengan baik tanpa membeda-bedakan latar belakang. Kesederhanaan Yuli Sumpil juga menandakan bahwa dirinya dapat membumi dan menyatu dengan Aremania, seperti pakaian dan humor khas daerah Malang yang ia bawakan dapat diterima oleh Aremania.
Conversational Involvement. Sebagai dirigen sekaligus pemimpin tidak membuat Yuli Sumpil bersikap sombong dan merasa lebih tinggi daripada Aremania. Yuli Sumpil bahkan tetap bertegur sapa dan berbaur dengan Aremania. Sebagai pemimpin, Yuli Sumpil tetap terbuka dan menerima segala kritik dan saran dari Aremania seperti contohnya mengkritik apabila yel-yel yang dinyanyikan berbau rasis.
Conversational Management. Yuli Sumpil dapat mengontrol dan mengatur sikap dalam berinteraksi dengan Aremania. Sebagai pemimpin, ia menyesuaikan diri kapan harus serius, bercanda, dan berteriak untuk menyemangati Aremania. Hal ini yang membuat Yuli Sumpil disegani dan dianggap layak untuk menjadi pemimpin Aremania.
Empathy. Sebagai seorang pemimpin, Yuli Sumpil mampu memahami emosi Aremania. Ketika Aremania bersedih ketika tim kebanggaannya kalah berlaga, ia akan merasa sedih juga namun tetap berusaha menyemangati Aremania. Sikapnya ini sangat natural karena memang ia berlatarbelakang sebagai Aremania sejak kecil, sehingga seperti memiliki ikatan emosional dengan sesama Aremania.
Effectiveness. Sebuah komunikasi dapat dikatakan efektif jika mampu mencapai tujuan pribadi juga tujuan bersama. Tujuan pribadi Yuli Sumpil tentu saja menyatukan Aremania sekaligus memastikan Aremania untuk tetap tertib dan kompak. Sedangkan, tujuan bersamanya adalah memberi semangat kepada para punggawa Arema yang sedang berlaga.
Appropriateness. Melihat fakta bahwa Yuli Sumpil telah menjadi dirigen Arema sejak 1998 hingga saat ini, artinya ia memiliki nilai dan keunikan tersendiri di mata Aremania. Sikap Yuli Sumpil yang mampu berbaur, tidak sombong, sederhana, dan memahami emosi Aremania membuat dirinya disayangi oleh klub suporter berlogo singa tersebut.
Wah, ternyata menjadi dirijen sepakbola juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik ya.