Media Sebagai Alat Penggiring Opini Tragedi Kanjuruhan
1 Oktober 2022 adalah tragedi yang membawa duka mendalam bagi kota Malang bahkan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pertandingan Big Match antara Arema vs Persebaya yang ditunggu-tunggu oleh suporter nyatanya malah menyisakan tragedi. Data terakhir menyebutkan tragedi tersebut merenggut nyawa sebanyak 125 jiwa serta korban luka-luka yang mencapai 299 orang (Dzulfaroh 2022, Kompas.com). Dengan jumlah nyawa yang melayang, sudah seharusnya tragedi kemanusiaan ini menjadi perhatian nasional dan internasional.
Tentunya peristiwa Kanjuruhan tersebut tak lepas dari sorotan media, karena media telah menjadi salah satu alat pemenuhan kebutuhan yang melekat dalam kehidupan setiap individu. Dalam hal ini juga memungkinkan apabila media sangat berperan penting dalam menggiring opini di masyarakat apalagi fokusnya masih berkaitan dengan tragedi kemanusiaan.
Dalam pernyataanya Denis McQuail dan kolega (1972) mengidentifikasi beberapa hal yang mengklasifikasikan kebutuhan dan gratifikasi audiens terhadap media, salah satu diantaranya adalah identitas pribadi (Personal identity). Teori tersebut menyatakan bahwa media adalah cara individu untuk memperkuat dan menyebarkan nilai-nilai yang mereka pegang. Seperti yang terjadi pada tragedi Kanjuruhan, semua pihak yang terlibat menggunakan berbagai platform media untuk menggiring opini siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini.
Dalam peristiwa Kanjuruhan berbagai pihak yang terlibat memberikan berbagai pernyataan ke media dengan tujuan untuk membentuk opini masyarakat ke arah yang mereka mau. Mereka sadar bahwa media merupakan medium yang tepat dalam membangun opini masyarakat. Hal ini juga terkait dengan teori komunikasi yaitu teori Uses and Gratification yang menyatakan bahwa orang-orang akan secara aktif memilih dan menggunakan media untuk memuaskan kebutuhan tertentu, inilah yang terjadi pada pernyataan pihak yang bersangkutan dalam kasus Kanjuruhan.
Setidaknya ada tiga pihak yang mengemukakan pernyataan mereka di media yaitu dari pihak kepolisian, pendukung (supporter), dan penyelanggara. Pihak kepolisian melalui Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta membeberkan kronologi terkait tragedi melalui press conference. Selain menyatakan kronologi yang ada Irjen Nico juga memberikan penjelasan terkait penerapan SOP yang banyak disinggung oleh masyarakat di media. Menurutnya penggunaan gas air mata sudah sesuai dengan prosedur, karena gas air mata ditembakan saat massa mulai bertindak anarkis (Yuilyana 2022, Kompas.TV).
Pernyataan dari Kapolda Jatim tersebut menuai kontroversial, karena masyarakat menganggap bahwa pihak kepolisian tidak ingin disalahkan dan hanya menyudutkan supporter. Jika dilihat dari pernyataan pihak kepolisian pada dasarnya mereka ingin menggiring opini masyarakat melalui press conference tersebut, namun audiens atau masyarakat juga memiliki pilihan pribadi dalam menginterpretasikan makna pesan yang mereka konsumsi.
Interpretasi makna pesan yang dilakukan oleh audiens dipengaruhi oleh faktor-faktor pribadi seperti inteligensia dan konsep diri. Hal tersebut dinyatakan dalam teori Efek terbatas (limited effects) yang merupakan bantahan dari teori Masyarakat massa (Mass society theory).
Selain dari pihak kepolisian, pihak penyelenggara dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) juga mendapatkan sorotan dari masyarakat karena pada kenyataannya mereka tidak berhasil menjalankan pertandingan secara lancar dan aman. Bahkan profesionalitas mereka dipertanyakan, apakah sosialisasi terhadap regulasi FIFA dan Manual Liga Indonesia sudah dilakukan dalam setiap kompetisi atau malah diabaikan? Yang paling kentara adalah kurangnya Mitigasi Resiko dan mengabaikan aturan bahwa seharusnya ketika permainan memasuki menit ke-80 panitia harus membuka pintu stadion.
Ketika peristiwa terjadi dan menimbulkan banyak korban, pihak penyelenggara juga terkesan diam dan tidak memberikan pernyataan klarifikasi. Tindakan diam yang diambil juga adalah bentuk komunikasi yang akan membangun opini publik bahwa mereka tidak bersalah atas tragedi yang terjadi.
Bukan hanya kedua pihak di atas yang mengambil andil dalam mengemukakan pandangan mereka melalui media, dari sisi supporter juga ikut menyatakan sudut pandang mereka. Mulai dari penonton yang mengalami langsung kejadian tersebut beserta para netizen yang memantau kemudian beramai-ramai meneriaki dan meminta pertanggungjawaban. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas tragedi ini? bagaimana bentuk pertanggungjawabannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seluruh masyarakat atas nama kemanusiaan untuk meminta keadilan bagi korban tragedi Kanjuruhan dan keluarga yang ditinggalkan.
USUT TUNTAS.