Oleh : Valentino Julio Memah | NIM 2702347111

Dosen Kelas : Irene Teresa Rebecca Hutabarat, S.MB., M.M.

Pada awal semester, ketika saya dan tim pertama kali mencetuskan ide JIVA, motivasi saya berangkat dari kepedulian yang sangat personal. Saya melihat banyak teman sebaya—terutama Gen Z—yang diam-diam berjuang dengan kesehatan mental mereka. Dari situ, saya memiliki visi idealis untuk menciptakan sebuah safe space, tempat di mana mereka bisa merasa didengar, dimengerti, dan tidak sendirian. Sebagai CEO, saya ingin JIVA hadir bukan hanya sebagai aplikasi, tetapi sebagai teman.

Namun perjalanan satu semester ini mengajarkan saya bahwa niat baik saja tidak cukup. Sebuah ide sosial tetap harus berdiri di atas fondasi bisnis yang kuat agar dapat bertahan dan berdampak. Pada awalnya, saya berpikir bahwa menyediakan akses ke psikolog dan jurnal refleksi sudah menjadi solusi yang memadai. Tetapi semua asumsi itu mulai diuji ketika kami benar-benar turun ke lapangan.

Momen paling membuka mata terjadi saat pameran dan proses market validation. Di sana, saya menerima banyak masukan yang jujur—bahkan cukup menohok. Pengunjung menyukai tujuan JIVA, tetapi mereka juga mempertanyakan tampilan UI, daya tarik visual, dan keberlanjutan model bisnisnya. Pertanyaan seperti “Apa bedanya dengan aplikasi lain?” dan “Dari mana revenue-nya?” menjadi tamparan realita yang memaksa saya berpikir lebih dalam. Saya sadar bahwa empati saja tidak cukup; produk juga harus relevan, menarik, dan berkelanjutan.

Dari titik itulah saya belajar tentang pentingnya retensi pengguna. Banyak feedback menyebutkan bahwa aplikasi kesehatan mental sering terasa membosankan dan sulit dipertahankan penggunaannya. Hal ini mendorong kami untuk mengembangkan konsep gamifikasi melalui virtual pet. Bagi saya, ini adalah pelajaran besar tentang kerendahan hati: bahwa mencintai ide bukan berarti mempertahankannya mati-matian, tetapi berani mengubahnya demi dampak yang lebih besar.

Sebagai CEO, tantangan terbesar saya bukan hanya soal strategi, tetapi juga tentang memimpin manusia. Mengelola tim dengan latar belakang dan karakter yang berbeda mengajarkan saya arti empati, komunikasi, dan kepercayaan. Saya belajar bahwa pemimpin bukanlah orang yang mengerjakan segalanya, melainkan orang yang menjaga visi tetap hidup dan memastikan setiap anggota tim bergerak ke arah yang sama. Visi JIVA sebagai “Teman Sejiwa” menjadi kompas kami dalam setiap keputusan—dari desain hingga strategi bisnis.

Di akhir semester ini, saya menyadari bahwa JIVA bukan sekadar proyek akademik. Ia adalah simulasi nyata tentang bagaimana membangun sesuatu dari nol, menghadapi kritik, jatuh, bangkit, dan tumbuh. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menjadi entrepreneur bukan tentang ide yang paling sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai, kerendahan hati untuk belajar, dan ketangguhan untuk terus melangkah.

JIVA mungkin masih di tahap awal, tetapi perjalanan ini telah menanamkan keyakinan besar dalam diri saya: bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang dijalani dengan niat, keberanian, dan konsistensi.