Dialektika Kualitas Layanan Perusahaan Jasa
Dialektika Kualitas Layanan Perusahaan Jasa
Paham konsumen adalah raja yang sering digembar-gemborkan selama ini kiranya patut untuk dikaji ulang, terlebih saat konsep tersebut diimplementasikan pada perusahaan jasa, seperti rumah sakit atau institusi pendidikan formal. Pertanyaan; layakkah seorang pasien atau murid dipandang sebagai ‘raja’?, merupakan topik diskusi yang hangat. Sebab di satu sisi layanan harus tetap diberikan dengan standar tinggi, tapi di sisi lain kedua institusi tersebut mengemban misi untuk mengajarkan kepada konsumen agar memperhatikan kualitas kehidupannya secara lebih baik.
Pada sebuah diskusi tentang kualitas layanan rumah sakit beberapa waktu lalu, seorang peserta mengemukakan pandangannya terkait penerapan skema BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan selang beberapa waktu terakhir. Menurut hematnya, pelayanan yang diberikan oleh beberapa rumah sakit terkesan berbeda dengan pasien yang tidak menggunakan fasilitas dimaksud. Selebihnya ia mencontohkan bagaimana pasien dan keluarganya diminta untuk memahami secara benar langkah-langkah dalam merawat si sakit.
Sekilas, jika kita menggunakan semangat “customer is the king”, maka sudah pasti layanan istimewa wajib disajikan oleh para pengelola rumah sakit. Tak ada yang salah memang dengan paradigma ini, namun bila dicermati lebih lanjut, ketika pihak keluarga tidak terbiasa merawat si sakit maka ketika sang pasien diizinkan untuk pulang, besar kemungkinan ia akan kembali dirawat inap untuk kategori penyakit yang sama. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab adalah belum terbentuknya budaya hidup sehat sesuai arahan atau proses pemulihan yang belum berjalan secara efektif.
Realitas yang sama juga terjadi di dunia pendidikan. Sebagai organisasi penyedia jasa pendidikan, penerapan konsep konsumen adalah raja memang menjadi pertanyaan besar hingga kini. Pendidikan akhlak kiranya menjadi salah satu hal yang membuat konsep tersebut minim untuk diterapkan. Pemahaman ini muncul setelah publik menempatkan institusi pendidikan sebagai lembaga yang mengajarkan nilai-nilai ilmiah, dimana secara metodologis akan bermanfaat bagi kehidupan siswa di masa depan sehingga mau tak mau semangat yang dibangun adalah ‘mendidik’. Mulai dari membenahi hal-hal yang masih kurang tepat hingga menanamkan cara pandang mana yang baik dan buruk.
Meski dialektikanya masih dipergunjingkan pada kedua jenis bidang jasa tersebut, namun definisi dasar kualitas layanan mutlak harus tetap dibangun. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Langkah dasarnya ada pada tataran definisi kualitas layanan yang dimaksud. Dalam kedua bidang jasa ini, kualitas layanan pada dasarnya merupakan hal yang disepakati, baik dari sisi penyedia maupun konsumen sesaat sebelum transaksi terjadi.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa dewasa ini ada begitu banyak persepsi yang salah akibat buruknya komunikasi antara kedua belah pihak. Di satu sisi, keluarga pasien memandang bahwa rumah sakit adalah tempat di mana mereka dapat melepaskan tanggung jawab dalam merawat si sakit. Padahal di sisi lain rumah sakit bertanggung jawab pula terhadap kondisi pasien pasca perawatan.
Demikian pula halnya jika kita berbicara pada konteks jasa pendidikan. Konsumen dapat berpikir bahwa sekolah adalah tempat bagi mereka untuk meraih ilmu yang diperlukan dalam menjalani hidup. Namun di sisi lain, para pendidik percaya bahwa terdapat suatu metodologi dalam memberikan pengajaran. Alhasil saat pendidik meyakini suatu hukuman sebagai bentuk pengajaran, maka hal tersebut akan berbenturan dengan kebutuhan spesifik dari para siswa. Di situlah sebenarnya ketidakpuasan mulai muncul. Bila tidak segera ditangani niscaya kesenjangan cara pandang tersebut akan semakin lebar.
Untuk dapat membangun pola komunikasi yang efektif, faktor bahasa kini menjadi hal yang vital, terlebih menjelang penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Inilah tantangan dunia pendidikan maupun jasa kesehatan di Indonesia yang sesungguhnya. Mau tak mau mereka harus mengubah cara pandangnya untuk tidak lagi hanya melihat konsumen lokal melainkan juga calon konsumen dari mancanegara.
Media informasi harus dikemas sedemikian rupa agar setiap informasi yang disajikan tidak mengundang interpretasi yang berbeda. Karenanya, penting bagi para penyedia jasa untuk mengenal calon konsumen yang akan dilayani secara lebih baik. Sebab di situlah kekuatan yang mampu memperkecil kesenjangan antara kualitas yang dipersepsikan dengan apa yang dirasakan.
Saya teringat akan kisah konsumen yang menggerutu pasca kelahiran putera pertamanya di sebuah rumah sakit swasta di bilangan Jakarta Pusat. Keluhan ada pada tenaga keperawatan yang dinilainya kurang ramah. Namun, di sisi lain, apresiasi dari konsumen muncul atas upaya tenaga kesehatan dalam proses kelahiran sang putera. Sisi positif inilah yang menjawab tuntas permasalahan sehingga pada kehamilan-kehamilan berikutnya pasangan tersebut tetap melahirkan di rumah sakit yang sama. Konsumen dengan mudah berekonsiliasi dengan cara pandangnya atas kualitas layanan yang dimaksud. Di sinilah dialektika itu berujung.
ISANAWIKRAMA
D4997
BINUS ENTREPRENEURSHIP CENTRE
Published at :