Artificial General Intelligence (AGI) mengacu pada kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan berpikir, belajar, dan memahami secara fleksibel layaknya manusia. Tidak seperti AI sempit (narrow AI) yang hanya dirancang untuk tugas tertentu, AGI bertujuan untuk dapat menyelesaikan berbagai macam tugas tanpa batas domain, dari matematika hingga seni, tanpa perlu pelatihan ulang untuk tiap tugasnya. 

Masa depan AGI sering kali menjadi perdebatan menarik. Di satu sisi, AGI menjanjikan revolusi teknologi yang dapat mengatasi berbagai tantangan global, mulai dari penemuan obat penyakit baru hingga solusi untuk perubahan iklim. AGI bahkan dapat menjadi mitra berpikir yang lebih efisien dari manusia dalam pengambilan keputusan kompleks. 

Namun, di sisi lain, banyak ahli mengingatkan potensi ancaman dari AGI jika tidak dikendalikan dengan benar. Ketika kecerdasan buatan melebihi manusia, muncul kekhawatiran mengenai hilangnya kendali, risiko penyalahgunaan, dan dampaknya terhadap stabilitas sosial serta ekonomi. Hal ini mengarah pada pertanyaan etis besar: siapa yang bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat oleh AGI? 

Beberapa tokoh seperti Elon Musk dan Stephen Hawking pernah menyuarakan kekhawatiran terhadap AGI, menyerukan perlunya regulasi dan pengawasan ketat sejak awal. Sementara itu, institusi-institusi besar di dunia kini mulai membentuk prinsip-prinsip etika untuk mengarahkan pengembangan AGI agar tetap aman dan bermanfaat bagi umat manusia. 

Maka dari itu, apakah AGI akan menjadi mimpi besar umat manusia atau justru ancaman yang tidak terkendali, sangat tergantung pada langkah yang kita ambil hari ini. Kesiapan, kebijakan, dan kolaborasi global menjadi kunci untuk memastikan bahwa teknologi ini dikembangkan dengan arah yang bijaksana.