Source: Kompasiana

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikaruniai hamparan laut yang membentang seluas 3,2 juta kilometer persegi, dihiasi lebih dari 17.500 pulau dan garis pantai sepanjang 108.000 kilometer. Kekayaan ini tidak hanya menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi di planet Bumi, tetapi juga menyimpan potensi ekonomi yang belum sepenuhnya tergali. Menurut analisis Bank Dunia, nilai ekonomi kelautan Indonesia mencapai lebih dari 280 miliar dolar AS per tahun, didorong oleh sektor-sektor seperti perikanan tangkap, pariwisata bahari, hingga industri maritim. Terumbu karang yang menjadi ikon negara ini saja menyumbang nilai ekonomi sekitar 3 miliar dolar AS, sementara surplus perdagangan produk perikanan laut mencapai 4,1 miliar dolar AS pada 2018—sebuah bukti daya tarik global dari sumber daya laut Nusantara.

Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Masih banyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tertinggal dalam pembangunan, dengan akses terbatas terhadap infrastruktur dasar, pendidikan, dan layanan kesehatan. Padahal, masyarakat pesisir adalah garda terdepan dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya laut. Di sinilah pentingnya pendekatan ekonomi biru—sebuah konsep yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan ekosistem laut dan kesejahteraan masyarakat.

Menyadari potensi ini, pemerintah Indonesia telah menetapkan Kebijakan Kelautan melalui Perpres Nomor 16 Tahun 2017 sebagai peta jalan transformasi menuju pembangunan berkelanjutan. Kebijakan ini menekankan keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian ekosistem, dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat pesisir, penguatan industri kelautan berbasis teknologi, serta perlindungan biodiversitas laut. Salah satu terobosan utamanya adalah integrasi prinsip ekonomi biru yang tidak hanya berfokus pada ekstraksi sumber daya, tetapi juga pada penciptaan sistem regeneratif—di mana aktivitas ekonomi justru memperkuat kesehatan ekosistem laut.

Implementasi strategi ekonomi biru diwujudkan melalui program-program konkret seperti modernisasi perikanan tangkap dan budidaya berbasis kuota berkelanjutan. Misalnya, program Minapolitan yang mengintegrasikan perikanan dengan industri pengolahan telah berhasil meningkatkan nilai tambah produk perikanan di beberapa daerah. Selain itu, pengembangan kawasan industri maritim yang memadukan produksi dan riset teknologi juga menjadi prioritas. Revitalisasi galangan kapal, seperti yang dilakukan di Batam dan Surabaya, bertujuan untuk meningkatkan daya saing global industri perkapalan Indonesia. Sektor jasa maritim pun tak luput dari transformasi, dengan penguatan logistik pelabuhan dan peningkatan konektivitas antar-pulau melalui program Tol Laut.

Namun, jalan menuju ekonomi biru yang ideal tidaklah mulus. Ancaman perubahan iklim—mulai dari pemanasan suhu laut hingga kenaikan permukaan air—berdampingan dengan tantangan klasik seperti praktik penangkapan ikan ilegal, ketergantungan pada bahan baku impor, dan tekanan polusi plastik yang menggerogoti kesehatan ekosistem pesisir. Perubahan iklim telah menyebabkan pemutihan terumbu karang secara masif, mengancam industri pariwisata bahari yang menjadi tulang punggung ekonomi di daerah seperti Raja Ampat dan Wakatobi. Sementara itu, praktik penangkapan ikan ilegal (IUU fishing) masih merugikan negara hingga miliaran dolar AS setiap tahunnya.

Di balik tantangan tersebut, peluang kolaborasi global terbuka lebar. Krisis iklim dan transisi energi hijau mendorong permintaan internasional terhadap praktik ekonomi berkelanjutan, termasuk energi terbarukan lepas pantai dan produk kelautan berbasis sertifikasi lingkungan. Indonesia, dengan potensi energi gelombang laut dan angin lepas pantai yang besar, bisa menjadi pemain utama dalam industri energi terbarukan global. Sayangnya, minimnya investasi asing di sektor-sektor strategis menjadi penghambat percepatan ini. Di sisi domestik, perlindungan terhadap nelayan tradisional dan penguatan ketahanan bencana di wilayah pesisir tetap menjadi pekerjaan rumah yang mendesak.

Salah satu kunci keberhasilan ekonomi biru adalah inovasi teknologi. Misalnya, penggunaan teknologi aquaculture 4.0 yang memanfaatkan Internet of Things (IoT) dan artificial intelligence (AI) untuk memantau kualitas air dan kesehatan ikan dalam budidaya perikanan. Selain itu, pengembangan bioteknologi kelautan untuk menghasilkan produk bernilai tinggi seperti obat-obatan berbasis bahan laut juga menjadi peluang besar. Di sisi kebijakan, pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mendukung investasi berkelanjutan, seperti insentif fiskal untuk proyek restorasi ekosistem dan pengembangan energi terbarukan.

Masa depan ekonomi biru Indonesia bergantung pada kemampuan bangsa ini merajut kemitraan multidimensi—antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan komunitas lokal—untuk menciptakan model pembangunan yang inklusif. Inovasi teknologi pengolahan hasil laut ramah lingkungan, skema pendanaan kreatif untuk proyek restorasi ekosistem, dan diplomasi maritim yang aktif dalam mengatasi praktik eksploitasi global bisa menjadi kunci. Seperti ombak yang tak pernah berhenti mengikis batu, perjuangan menyeimbangkan kemakmuran dan keberlanjutan laut Nusantara harus terus bergulir, demi warisan abadi bagi generasi mendatang.

 

 

Referensi:

Kementerian PPN/Bappenas. (2025). Indonesia Advocates for Blue Economy as a Source of Inclusive and Sustainable Development | Kementerian PPN/Bappenas. Bappenas.go.id. https://bappenas.go.id/berita/hlf-msp-2024-indonesia-dorong-ekonomi-biru-sebagai-sumber-pertumbuhan-ekonomi-inklusif-dan-berkelanjutan-XDosC

Nur Ainun Musdalifah, Darwis Darwis, & Imam Fadhil Nugraha. (2024). Strategi Indonesia dalam Mencapai Blue Economy Roadmap Melalui National Blue Agenda Actions Partnership (NBAAP) . Student Scientific Creativity Journal2(6), 53–65. https://doi.org/10.55606/sscj-amik.v2i6.4460