Burnout? Reader sudah tidak asing lagi dengan fenomena tersebut ya. Kali ini kita akan mengupas Burnout di Gen Z nih. Burnout adalah fenomena psikologis yang semakin sering menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan generasi muda, termasuk Generasi Z. Generasi Z, yang lahir pada akhir tahun 1990-an hingga pertengahan 2010-an, kini berada pada usia produktif di mana mereka terlibat dalam pendidikan tinggi atau mulai memasuki dunia kerja. Keterpaparan mereka terhadap tuntutan yang tinggi, baik dalam dunia akademik maupun profesional, membuat mereka rentan terhadap stres kronis yang jika tidak diatasi dengan baik, dapat berkembang menjadi burnout.

Istilah burnout pertama kali diidentifikasi pada tahun 1970-an oleh seorang psikolog bernama Herbert Freudenberger dan sejak itu diakui secara lebih luas sebagai masalah yang signifikan dalam kesehatan mental. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan dari stres kronis di tempat kerja atau situasi akademis yang tidak berhasil dikelola dengan baik. Meskipun sering kali dikaitkan dengan pekerjaan, burnout kini telah diakui sebagai kondisi yang dapat terjadi dalam berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk di lingkungan pendidikan.

Burnout ditandai oleh tiga gejala utama yang saling terkait dan dapat memperburuk kondisi psikologis individu jika tidak segera diatasi. Gejala pertama adalah kelelahan fisik dan emosional. Ini merujuk pada perasaan lelah yang ekstrem, baik secara fisik maupun mental, yang muncul akibat beban pekerjaan atau studi yang terus-menerus. Mahasiswa dan pekerja muda sering kali merasa kehabisan energi dan mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas-tugas sehari-hari. Kelelahan ini juga bisa berdampak pada masalah kesehatan fisik, seperti sakit kepala, gangguan tidur, dan masalah pencernaan.

Gejala kedua adalah sinisme atau perasaan negatif terhadap pekerjaan atau studi. Orang yang mengalami burnout cenderung kehilangan minat atau antusiasme terhadap tugas-tugas mereka. Di lingkungan kerja, ini dapat terlihat melalui sikap apatis atau jarak emosional terhadap pekerjaan. Sedangkan di lingkungan akademik, mahasiswa yang mengalami burnout mungkin merasa kurang termotivasi dan sulit untuk menemukan makna dalam aktivitas belajar mereka. Mereka mungkin mulai mempertanyakan tujuan pendidikan mereka, merasa jenuh, dan bahkan menjadi sinis terhadap masa depan karier mereka.

Gejala ketiga adalah penurunan efektivitas dalam pekerjaan atau studi. Orang yang mengalami burnout biasanya mengalami penurunan kinerja. Produktivitas mereka menurun karena mereka kesulitan untuk fokus dan menyelesaikan tugas-tugas dengan baik. Dalam konteks akademik, ini bisa berarti menurunnya kualitas tugas, nilai yang lebih rendah, serta kesulitan dalam memenuhi tenggat waktu. Di tempat kerja, ini bisa berarti kinerja yang tidak optimal, seringnya absen, dan bahkan berisiko kehilangan pekerjaan atau peluang karier.

Burnout tidak hanya terjadi di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan akademik, di mana mahasiswa sering dihadapkan pada tuntutan akademik yang tinggi. Banyak mahasiswa dari Generasi Z yang harus berjuang untuk menyeimbangkan antara tekanan akademik, kehidupan pribadi, dan ekspektasi sosial. Tuntutan untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, dikombinasikan dengan kebutuhan untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan ekstrakurikuler, menciptakan beban yang besar bagi banyak mahasiswa. Sering kali, tekanan ini diperburuk oleh perasaan harus selalu “berhasil” dan memenuhi standar yang sangat tinggi, baik dari diri sendiri, orang tua, maupun masyarakat sekitar.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa burnout tidak muncul secara tiba-tiba. Ini adalah proses yang bertahap, yang dimulai dengan stres ringan yang secara bertahap meningkat menjadi masalah yang lebih serius jika tidak dikelola dengan baik. Meskipun stres adalah bagian normal dari kehidupan, ketika stres menjadi kronis dan individu merasa tidak mampu menghadapinya, burnout menjadi hasil akhirnya. Oleh karena itu, penting bagi Generasi Z untuk dapat mengenali tanda-tanda awal dari burnout dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya berkembang lebih lanjut.

Memahami fenomena burnout di kalangan Generasi Z menjadi semakin penting di era modern, di mana kehidupan semakin dipenuhi dengan tuntutan tinggi dan gangguan digital.

Faktor Penyebab Burnout pada Generasi Z

  1. Tekanan Pekerjaan dan Akademik
    Generasi Z, yang sedang menempuh pendidikan atau baru memasuki dunia kerja, sering menghadapi tekanan besar. Target pencapaian yang tinggi, persaingan yang ketat, serta tuntutan untuk terus berkembang menjadi faktor utama penyebab stres. Ketidakmampuan mengelola ekspektasi dapat menyebabkan burnout, baik dalam pekerjaan maupun studi​
  2. Kurangnya Keseimbangan Kehidupan-Pribadi
    Generasi Z sulit untuk menemukan keseimbangan antara pekerjaan, studi, dan kehidupan pribadi. Dengan adanya teknologi yang selalu terkoneksi, banyak dari mereka merasa harus selalu “tersedia” secara online, yang mengarah pada kelelahan emosional dan fisik​
  3. Dampak Media Sosial
    Media sosial memberikan tekanan tambahan, terutama melalui fenomena “fear of missing out” (FOMO). Hal ini mendorong banyak orang untuk terus membandingkan diri mereka dengan orang lain, yang berkontribusi pada peningkatan stres dan rasa cemas

Dampak Burnout
Burnout memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan fisik generasi muda. Beberapa dampaknya meliputi:

  • Kesehatan Mental: Burnout sering dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan gangguan tidur​
  • Produktivitas Menurun: Burnout menyebabkan hilangnya motivasi, kesulitan fokus, dan penurunan performa​
  • Penurunan Kualitas Hubungan Sosial: Orang yang mengalami burnout sering merasa terlalu lelah untuk berinteraksi, sehingga hubungan sosial mereka juga terdampak

Solusi Mengatasi Burnout
Ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh generasi muda untuk mengatasi burnout, seperti:

  1. Mencari Dukungan Sosial
    Dukungan dari teman, keluarga, atau konselor dapat membantu dalam meredakan beban emosional
  2. Menetapkan Batasan Sehat
    Mengatur waktu istirahat dan memastikan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sangat penting​
  3. Mengelola Stres dengan Teknik Relaksasi
    Praktik yoga, meditasi, dan teknik pernapasan dapat membantu meredakan stres
  4. Manajemen Waktu yang Efektif
    Keterampilan manajemen waktu yang baik membantu individu mengelola tugas tanpa merasa kewalahan​

 

 

Referensi:

  1. World Health Organization. (2019). Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases. WHO.
  2. Schaufeli, W. B., & Taris, T. W. (2014). A critical review of the Job Demands-Resources Model: Implications for improving work and health. Journal of Organizational Behavior, 35(S1), S43-S64.
  3. Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Understanding the burnout experience: Recent research and its implications for psychiatry. World Psychiatry, 15(2), 103-111​