Lost in the Noise: How Social Media Echo Chambers Make Us Forget What We Don’t Want to Hear
Di dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial merubah cara kita berkomunikasi, memberikan informasi, serta berhubungan dengan lingkungan disekitar kita. Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Tiktok telah membuka banyak kesempatan bagi kita untuk dapat mengekspresikan ide dan pikiran kita secara lebih bebas kepada kalangan yang lebih luas. Namun, walaupun wadah tersebut dapat mendorong dan memfasilitasi komunikasi yang lebih luas, wadah tersebut juga menghadirkan tantangan tersendiri yang dapat mempersulit cara kita memahami serta memandang kebenaran dan realita yang ada disekitar kita. Algoritma yang berperan untuk mengatur konten yang muncul di feeds kita sering kali hanya menampilkan konten yang beresonansi dengan apa yang kita percayai pada saat ini, sehingga menciptakan suatu pandangan yang lebih mendominasi sementara pandangan yang lainnya terpinggirkan. Hal inilah yang sering kali disebut dengan istilah “echo chambers”.
Echo chambers sendiri merupakan sebuah kondisi atau lingkungan dimana seorang individu hanya dihadapkan dengan perspektif yang sejalan dengan apa yang mereka suka atau percaya, dan pada akhirnya akan membentuk pemahaman mereka terhadap isu yang lebih kompleks.
Apa ya contoh nyata dari echo chambers tersebut?
Salah satu contoh yang paling mudah kita temui dalam keseharian adalah seorang individu anggap saja bernama Budi. Budi sangat menyukai olahraga basket dan percaya bahwa olahraga basket adalah olahraga yang paling populer pada saat ini, sehingga ia terus menerus menonton pertandingan basket menggunakan smartphonenya. Lama kelamaan feeds pada media sosial Budi hanya menampilkan pertandingan basket bahkan saat Budi tidak sedang mencarinya. Hal ini kemudian akan membuat Budi merasa bahwa pendapatnya benar terkait melambungnya kepopuleran olahraga basket pada saat ini. Padahal pada kenyataannya hal tersebut tidaklah benar. Budi terus menerus mendapatkan tayangan olahraga basket karena adanya algoritma yang mencatat hal apa yang Budi sering kali lihat ketika menggunakan media sosial tersebut.
Lalu apa ya bahaya dari echo chambers ini?
Echo chambers menjadi berbahaya apabila hal tersebut memperkuat kepercayaan seseorang terhadap informasi yang salah. Berikut ini merupakan beberapa hal negatif yang dapat muncul:
- Penyebaran Hoax: Ketika seseorang hanya melihat dan mendengar informasi yang sesuai dengan kepercayaan mereka, maka informasi yang salah dapat semakin disebarluaskan tanpa adanya konfirmasi yang jelas terkait kebenarannya. Misalkan saja seperti gerakan “anti vaksinasi”, atau konspirasi terkait politik yang sedang marak pada saat ini.
- Radikalisme, Ekstremisme, dan Rasisme: Dalam beberapa situasi tertentu, echo chambers mendorong cara berpikir yang ekstrim menjadi hal yang normal, hal ini mendorong individu untuk lebih mempercayai pemikiran yang lebih radikal. Misalkan saja stereotip terhadap suatu suku, ras, ataupun agama.
Ternyata fenomena echo chambers ini bisa dikaitkan dengan teori confirmation bias, dimana teori ini menjelaskan bahwa seorang individu akan memiliki tendensi untuk mencari, menginterpretasi dan mengingat informasi yang memberikan konfirmasi terhadap hak yang dipercaya sebelumnya. Pada fenomena ini, bias tersebut mendorong seseorang untuk hanya mencari dan melihat informasi yang sesuai dengan kepercayaan individu sebelumnya dan mengesampingkan informasi yang bersifat oposisi. Selain itu, teori identitas sosial juga dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini, bagaimana seorang individu mendefinisikan diri mereka berdasarkan sebuah kelompok, sehingga hal tersebut mempengaruhi perilaku dan sikap mereka. Dalam fenomena echo chambers ini individu hanya terfokus pada kelompok/hal yang memiliki pandangan yang sejalan dengan pandangan yang dimiliki individu tersebut.
Bagaimana mengatasi echo chambers ini?
Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk mengatasi hal tersebut, misalkan saja dengan mendorong tingkat literasi media dan cara berpikir kritis. Hal ini bisa membuat kita lebih berhati-hati dalam memilih sebuah informasi. Misalkan, kita bisa memastikan terlebih dahulu apakah sumber yang kita baca atau lihat dapat dipastikan kredibilitasnya. Kemudian kita juga bisa dengan terbuka untuk melakukan diskusi lebih dalam kepada orang-orang disekitar kita khususnya dengan individu yang mungkin memiliki pandangan berbeda dari yang kita percayai. Dengan melakukan diskusi tersebut, kita dapat lebih mengerti pandangan oposisi atau pandangan orang sekitar terhadap hal yang kita percayai sehingga mengurangi adanya kemungkinan bias.
Dibalik kemudahan yang diberikan oleh media sosial, kita juga harus mengerti bagaimana cara kerja sebuah media sosial agar dapat lebih terhindar dari kemungkinan adanya dampak negatif yang muncul. Dengan menyadari akibat dari fenomena echo chambers kita bisa lebih berhati-hati dan bersikap selektif dengan apa yang kita lihat pada media sosial. Pada hal ini, tantangan terbesar bagi kita sebagai individu adalah pada tingkat keingintahuan kita pada hal yang bersifat kontra pada apa yang kita percayai, jika kita bisa melakukan hal tersebut maka kita juga dapat meminimalisir dampak negatif dari keberadaan sosial media.
References:
Kahne, J., & Bowyer, B. (2016). Educating for democracy in a partisan age. American Educational Research Journal, 54(1), 3–34. https://doi.org/10.3102/0002831216679817
Nickerson, R. S. (1998). Confirmation bias: a ubiquitous phenomenon in many guises. Review of General Psychology, 2(2), 175–220. https://doi.org/10.1037/1089-2680.2.2.175
Tajfel, H., & Turner, J. (2001). An integrative theory of intergroup conflict. In M. A. Hogg & D. Abrams (Eds.), Intergroup relations: Essential readings (pp. 94–109). Psychology Press.
Comments :