Source: https://stock.adobe.com/id/search/images?k=deep+fake

Pendahuluan

Bayangkan sebuah video yang menampilkan seorang tokoh politik ternama sedang memberikan pernyataan kontroversial. Video itu terlihat begitu nyata, mulai dari ekspresi wajah, gerakan bibir, hingga intonasi suara terasa persis. Namun, setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata konten tersebut hanyalah rekayasa berbasis deepfake.

Fenomena inilah yang kini menjadi perhatian dunia. Deepfake, sebagai produk dari kecerdasan buatan (AI), bukan hanya sekadar hiburan digital, melainkan sudah menjadi senjata baru dalam penyebaran hoaks dan manipulasi opini. Dampaknya jauh melampaui sekadar citra individu, deepfake mengancam fondasi kepercayaan masyarakat terhadap media, institusi, bahkan sistem demokrasi itu sendiri (Le Poidevin, 2025).

Deepfake dan Erosi Kepercayaan Publik

Masalah terbesar dari deepfake adalah terkikisnya kepercayaan publik. Teori komunikasi massa menjelaskan bahwa media berfungsi sebagai gatekeeper informasi, yaitu penyaring yang menentukan apa yang layak disampaikan ke masyarakat. Namun, ketika video manipulatif beredar luas, peran itu menjadi rapuh.

Masyarakat kini sering kali ragu: apakah yang mereka lihat benar adanya atau hanya hasil manipulasi digital? Fenomena “liar’s dividend” memperparah keadaan. Ketika konten valid dianggap palsu hanya karena mirip deepfake, kepercayaan pun semakin goyah (Brennan Center for Justice, 2023). Akibatnya, bahkan bukti visual yang sah tidak lagi otomatis dipercaya.

Implikasi dalam Kampanye Politik

Dampak paling mengkhawatirkan muncul dalam dunia politik. Bayangkan masa pemilu, ketika masyarakat haus informasi, lalu beredar video palsu kandidat tertentu melakukan tindakan tidak etis. Meski akhirnya terbukti palsu, kerusakan opini publik sudah terjadi.

Penelitian Vaccari dan Chadwick (2024) menegaskan bahwa deepfake politik mampu menggeser persepsi masyarakat, terutama mereka yang memiliki literasi digital rendah. Dalam teori komunikasi massa, hal ini sejalan dengan konsep framing dan agenda-setting. Deepfake tidak hanya menciptakan narasi, tetapi juga menentukan topik apa yang menjadi perhatian publik. Jika dibiarkan, demokrasi yang mengandalkan informasi valid bisa terdistorsi oleh kebohongan digital

Faktor Moderasi: Literasi Digital dan Konteks Sosial

Dampak deepfake tidak sama bagi semua orang. Horton dan Smith (2025) menemukan bahwa faktor seperti pendidikan, latar belakang politik, dan kemampuan literasi digital sangat memengaruhi seberapa mudah seseorang terpengaruh.

Orang dengan keterampilan berpikir kritis cenderung mampu menyaring informasi, sementara masyarakat yang minim literasi digital lebih rentan. Hal ini membuktikan bahwa perlawanan terhadap deepfake tidak cukup dengan teknologi deteksi saja, tetapi harus dibarengi dengan penguatan literasi digital di berbagai lapisan masyarakat.

Upaya Mitigasi: Teknologi dan Edukasi

Langkah mitigasi sudah mulai dilakukan. Dari sisi teknologi, perusahaan raksasa digital mengembangkan sistem watermarking, algoritma deteksi otomatis, hingga jejak digital (content provenance) untuk memverifikasi keaslian konten (Cave & Dignum, 2024). Namun, tantangan terbesarnya adalah kecepatan inovasi pembuat deepfake yang selalu selangkah lebih maju.

Di sisi lain, edukasi publik menjadi fondasi yang tidak kalah penting. Literasi digital harus ditanamkan sejak dini agar masyarakat terbiasa memverifikasi informasi sebelum mempercayainya. Kurikulum sekolah, pelatihan masyarakat, hingga kampanye literasi media di platform sosial dapat menjadi jalan keluar agar publik tidak mudah terjebak dalam jebakan visual yang menipu.

Kesimpulan

Deepfake adalah pedang bermata dua. Ia menawarkan peluang kreatif dalam dunia hiburan dan komunikasi digital, tetapi sekaligus membuka pintu ancaman serius bagi kepercayaan publik dan stabilitas politik.

Jika dilihat dari perspektif teori komunikasi massa, jelas bahwa kehadiran deepfake telah mengguncang peran media sebagai penyampai realitas. Untuk menghadapinya, dibutuhkan kerja sama lintas sektor: inovasi teknologi, kebijakan regulasi, serta peningkatan literasi digital. Dengan cara itu, masyarakat dapat membangun ketahanan informasi dan menjaga ruang publik dari manipulasi yang semakin canggih.

Referensi

Brennan Center for Justice. (2023). Deepfakes, elections, and shrinking the liar’s dividend. Brennan Center for Justice. https://www.brennancenter.org/our-work/research-reports/deepfakes-elections-and-shrinking-liars-dividend

Cave, S., & Dignum, V. (2024). Understanding the impact of AI-generated deepfakes on public trust. IEEE Computer Magazine, 57(4), 12–19. https://doi.org/10.1109/MC.2024.10552098

Horton, R., & Smith, J. (2025). Can deepfakes manipulate us? Assessing the evidence via a critical review. Frontiers in Psychology, 16, 1–13. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2025.1214127

Le Poidevin, O. (2025, July 11). UN report urges stronger measures to detect AI-driven deepfakes. Reuters. https://www.reuters.com/business/un-report-urges-stronger-measures-detect-ai-driven-deepfakes-2025-07-11/

Vaccari, C., & Chadwick, A. (2024). What we know and do not know about deepfakes. Journal of Communication and Media Studies, 18(2), 145–162. https://doi.org/10.1177/14614448241253138