Perubahan iklim global memaksa banyak negara, termasuk Taiwan, untuk bergegas menekan emisi karbon. Sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar, terutama dari kendaraan berbahan bakar fosil. Di Taipei saja, emisi gas rumah kaca dari transportasi mencapai lebih dari 20% dari total emisi kota. Untuk mengatasi hal ini, Taiwan sudah mencanangkan target ambisius: seluruh kendaraan baru yang dijual harus 100% bertenaga listrik pada 2040.

Gambar 1. Diagram alur subsidi pemerintah untuk mendukung mobil listrik, stasiun pengisian daya, dan sistem penyimpanan energi (Gambar dihasilkan oleh OpenAI, ChatGPT).

Namun, beralih ke kendaraan listrik (EV) tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mobil listrik memang mampu menekan emisi, tetapi untuk mendukungnya diperlukan ekosistem penunjang seperti stasiun pengisian daya yang memadai dan pasokan listrik yang stabil. Di sinilah energy storage system (ESS) memainkan peran penting. ESS membantu menyimpan energi, terutama dari sumber terbarukan seperti tenaga surya dan angin, sehingga pasokan listrik tetap terjaga meski pembangkit terbarukan bersifat fluktuatif.

Sayangnya, adopsi ESS dan EV masih terhambat biaya. Baik infrastruktur ESS maupun kendaraan listrik memerlukan investasi awal yang mahal. Oleh karena itu, dukungan pemerintah dalam bentuk subsidi menjadi penentu keberhasilan transisi energi ini. Studi terbaru yang menggunakan pendekatan system dynamics membuktikan betapa krusialnya peran subsidi pembelian kendaraan, subsidi riset dan pengembangan (R&D), serta subsidi pembangunan stasiun pengisian daya.

Melalui pemodelan dinamis, studi ini memperlihatkan bagaimana kebijakan subsidi saling terhubung dengan perilaku konsumen, pengembangan infrastruktur, dan target penurunan emisi karbon. Misalnya, subsidi R&D membantu pabrikan mengembangkan teknologi baterai yang lebih murah dan efisien, sehingga harga EV di pasaran bisa ditekan. Sementara itu, subsidi pembangunan stasiun pengisian daya mengurangi ‘kecemasan jarak tempuh’ yang sering membuat orang ragu membeli mobil listrik.

Dalam simulasi, target pembangunan 7.800 stasiun pengisian daya di Taiwan dapat tercapai pada 2028–2029 jika subsidi tetap berjalan. Pemerintah Taiwan juga memberikan insentif pembelian e-scooter dan mobil listrik untuk masyarakat, serta dukungan bagi operator bus listrik. Hasilnya, diharapkan adopsi kendaraan listrik bisa meningkat hingga 45% dari total kendaraan pada 2040, mendekatkan Taiwan pada target net-zero emission di 2050.

Selain subsidi pembelian, subsidi untuk ESS juga tidak kalah penting. Dengan ESS yang memadai, pasokan listrik untuk stasiun pengisian daya jadi lebih stabil. Energi terbarukan yang tersimpan di ESS dapat digunakan saat beban puncak, membantu mengurangi beban pada jaringan listrik utama dan menekan biaya listrik jangka panjang. Inilah mengapa ESS sering disebut sebagai ‘jantung’ sistem pendukung kendaraan listrik.

Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan transisi kendaraan listrik bukan hanya soal teknologi, tetapi juga desain kebijakan yang komprehensif. Kombinasi subsidi pembelian, R&D, infrastruktur, dan ESS akan mempercepat adopsi EV dan membawa dampak nyata dalam penurunan emisi karbon sektor transportasi. Di masa depan, pendekatan system dynamics ini dapat menjadi alat bantu pengambilan keputusan pemerintah untuk merancang kebijakan energi yang lebih adaptif dan terukur.

 

 

Catatan: Artikel ini disadur dari makalah oleh Chou, S.-Y., Yu, T.H.K., Suryani, E., Rahmawati, R., Handayani, F., & Dewabharata, A. (2023). Investigating Government Subsidy and Policy to Encourage the Adoption of the Energy Storage System and Electric Vehicle: A System Dynamics Model Approach yang dipublikasikan di Advances in Transdisciplinary Engineering. URL: https://ebooks.iospress.nl/doi/10.3233/ATDE230635