(source: pixabay)

 Teori agenda setting menyatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi apa yang dianggap penting oleh masyarakat. Media bukanlah penentu cara berpikir kita; sebaliknya ia menentukan perbincangan pada topik-topik tertentu yang kita pikirkan. Walaupun dalam era digital ini teori tersebut masih relevan, namun evolusi caranya berubah seiring dengan perubahan platform komunikasi.

Di era media tradisional seperti televisi dan surat kabar (koran) menetapkan agenda melalui pemilihan berita utama atau seberapa sering suatu topik dilaporkan adalah hal yang biasanya terjadi. Sekarang, pada era digital, algoritme dari platform seperti Google, Instagram, dan TikTok juga berperan sebagai “penjaga gerbang informasi”. Kontennya sering muncul di dalam feed kita contohnya berita viral atau topik yang sedang tren mempengaruhi cara kita memandang apa yang penting atau mendesak.

Menegaskan agenda di masa digital menjadi lebih kompleks karena setiap orang memiliki “agenda” yang unik masing-masing. Algoritma menciptakan filter bubble di mana pengguna hanya terkena konten yang cocok dengan preferensi mereka. Ini dapat memperkuat bias dan membatasi sudut pandang mengenai isyarat yang lebih luas. Di tambah lagi pengaruh influencer dan viralitas kontennya semakin membesar, sehingga sebagian individunya dapat “menetapkan agenda” dalam ruang digital tersebut.

Untuk menerapkan konsep ini dengan optimal, organisasi atau individu harus mengenal dinamika algoritma serta cara audiens menerima kontennya. Cara-cara seperti menyusun kontennya demi platform tertentu, memanfaatkan narasi visual, dan bekerjasama dengan para tokoh digital dapat membantu dalam pengiriman pesan yang diharapkan.

Zaman informasi digital memberikan peluang besar untuk menyebarkan informasi namun juga menimbulkan tantangan dalam memastikan bahwa agenda yang dibuat mencerminkan kepentingan publik secara luas.