CATATAN KECIL UNTUK PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN DI PERGURUAN TINGGI

Oleh SHIDARTA (Oktober 2024)

Kurang dari dua minggu sebelum mengakhiri jabatannya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), pada tanggal 10 Oktober 2024, mengeluarkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini dimaksudkan untuk mengganti peraturan serupa tiga tahun sebelumnya. Apabila sekadar dilihat dari sisi judulnya, peraturan ini sudah mengindikasikan materi muatannya jauh lebih luas daripada peraturan sebelumnya karena peraturan lama memaknai “kekerasan” sebatas kekerasan seksual.

Kekerasan menurut peraturan yang baru ini adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya (Pasal 1 butir 1). Ternyata definisi di atas, mengalami perluasan tatkala peraturan ini masuk ke penjabaran bentuk-bentuk kekerasan. Bentuk kekerasan itu dirinci menjadi kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, dikriminasi dan intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan (Pasal 7 s.d.  Pasal 14).

Mari kita cermati peraturan ini lebih teliti! Ada tiga elemen yang menarik untuk dijadikan indikator memahami lebih jauh tentang ruang lingkup kekerasan menurut peraturan tersebut. Pertama adalah unsur pelaku yang notabene sama dengan terlapor. Kedua, adalah korban. Ketiga, adalah konteks saat kekerasan terjadi.

Pihak yang diposisikan sebagai pelaku atau terlapor untuk kasus kekerasan ini adalah: (1) warga kampus (dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa); (2) pemimpin perguruan tinggi (rektor pada universitas dan institut, ketua pada sekolah tinggi, direktur pada politeknik, akademi, dan akademi komunitas); dan/atau (3) mitra perguruan tinggi. Korbannya ada dua kemungkinan, yaitu: (1) warga kampus dan mitra perguruan tinggi. Kata sambung “dan” di sini perlu digarisbawahi karena seharusnya ditulis “dan/atau” (alternatif-kumulatif). Semua kekerasan yang melibatkan pelaku dan korban harus di dalam konteks penyelenggaraan atau pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi.

Pengertian mitra perguruan tinggi di dalam peraturan ini adalah badan hukum atau perseorangan yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam pelaksanaan Tridharma. Tampilnya badan hukum sebagai korban kekerasan merupakan suatu keunikan tersendiri. Sulit untuk membayangkan ada badan hukum yang mampu mengalami kekerasan dengan bukti-bukti penderitaan fisik, seksual, dan psikologis, dan terampas kemerdekaannya (lihat kembali batasan “kekerasan” menurut Pasal 1 butir 1). Pemaknaan seperti ini jelas membingungkan! Lain halnya jika yang dimaksud adalah bahwa korban itu tetaplah orang-perseorangan, hanya saja ia dapat berasal dari perguruan tinggi tersebut dan/atau berasal dari mitra perguruan tinggi yang bersangkutan.

Barangkali ada yang mengatakan bahwa badan hukum yang menjalin kemitraan dengan perguruan tinggi (dalam kerja sama pelaksanaan Tridharma) dipersepsikan mengalami “kekerasan” karena kebijakan pemimpin perguruan tinggi. Probabilitas seperti ini sekilas masuk akal, tetapi tidak cukup rasional. Andaikan ada satu badan hukum yang menilai kerja samanya dengan perguruan tinggi tidaklah menguntungkan, misalnya karena ada kebijakan yang memberatkan pihaknya, maka langkah yang harus ditempuhnya adalah cukup dengan memutuskan hubungan kerja sama tersebut. Dalam setiap kerja sama, semua pihak dalam perjanjian keperdataan harus diasumsikan berposisi setara. Dengan kesetaraan ini, baik perguruan tinggi maupun mitranya, sama-sama dapat menjadi pelaku atau korban.

Menurut Pasal 7 ayat (3) bentuk-bentuk kekerasan (kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, dikriminasi dan intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan) dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui media elektronik dan/atau nonelektronik. Kita coba mencari kemungkinan lain yang lebih spesifik, misalnya sebuah badan hukum mitra perguruan tinggi mendapati dirinya telah menjadi korban kekerasan akibat publikasi di media sosial yang ditengarai dilakukan oleh oknum di perguruan tinggi rekanannya. Publikasi ini diklaim telah merusak reputasi badan hukum tersebut, sehingga mempengaruhi psikis para karyawannya. Kemungkinan ini sekilas terkesan logis, sehingga dapat dikategorikan sebagai kekerasan juga. Kendati demikian, di dalam praktik berhukum di lapangan pun, badan-badan hukum seperti yang disebutkan tadi, kecil kemungkinannya akan menggunakan instrumen hukum selevel Permendikbudristek ini sebagai dasar hukum apabila ingin membawa kasus ini ke depan pengadilan.

Selain permasalahan di atas, kata-kata kontekstual yang merujuk ke kondisi norma: “… yang terlibat dalam penyelenggaraan Tridharma” (untuk warga kampus) dan “…yang bekerja sama dengan peruguran tinggi dalam pelaksanaan Tridharma” (untuk mitra perguruan tinggi), juga berpotensi mengganggu pemahaman kita. Peletakan konteks ini telah mempersempit ruang tafsir dari terminologi “kekerasan” dalam peraturan ini. Dalam ilustrasi gambar (lihat ragaan di atas) saya pertegas dengan tanda contreng dan tanda silang. Tanda contreng menunjukkan posisi korban yang termasuk dalam pemaknaan “korban kekerasan” menurut peraturan ini. Tanda silang menunjukkan sebaliknya. Hal ini sekaligus menandakan apakah Permendikbudristek ini berlaku atau tidak untuk penanganan kasus-kasus dengan pihak-pihak tersebut.

Lokasi penyelenggaraan atau pelaksanaan Tridharma, menurut peraturan ini, tidak harus berada di perguruan tinggi. Pasal 7 dari peraturan ini melarang warga kampus, pemimpin perguruan tinggi, dan mitra perguruan tinggi melakukan kekerasan dalam pelaksanaan Tridharma pada lokasi di dalam atau di luar perguruan tinggi. Urusan konteks “Tridharma,” soal lokai inipun tidak kalah njelimet-nya. Mari kita berikan beberapa contoh. Misalnya, kita mendapati peristiwa pertengkaran hebat yang dipicu oleh kata-kata kasar seorang mahasiswa terhadap rekannya sesama mahasiswa. Peristiwa ini terjadi di kantin kampus saat mereka sedang makan-makan di sana. Apakah pertengkaran hebat saat makan-makan di kantin ini termasuk di dalam “kekerasan” dalam konteks penyelenggaraan Tridharma? Pertanyaan tersebut dapat diperluas. Bagaimana jika korban kekerasan di kantin itu tidak hanya mahasiswa melainkan juga si pemilik kantin? Misalnya, saat pertengkaran terjadi ada sejumlah piring pecah dan/atau pemilik warung ikut terluka. Kendati pemilik kantin ini sangat mungkin adalah mitra usaha dari perguruan tinggi, namun kemitraan ini biasanya tidak dalam rangka pelaksanaan Tridharma.

Catatan-catatan di atas perlu menjadi perhatian bagai perguruan tinggi yang diwajibkan melakukan pencegahan dan penangangan kekerasan melalui penguatan tata kelola dengan menyusun dan menetapkan kebijakan dan pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan. Antara lain di sini terdapat amanat bagi perguruan tinggi untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas). Dilihat dari namanya, Satgas ini tidak hanya berurusan dengan kasus-kasus kekerasan seksual, tetapi semua bentuk kekerasan.

Bentuk-bentuk kekerasan ini, sekali lagi, hanya terkait dengan penyelenggaraan/pelaksanaan Tridharma. Di luar itu, perguruan tinggi tentu tetap dapat menjatuhkan sanksi dan tindakan tertentu kepada semua pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku secara organisatoris. Kendati dibingkai oleh konteks penyelenggaraan/pelaksanaan Tridharma, Satgas ini masih menjalankan berbagai fungsi yang terbilang sangat luas cakupannya (Pasal 28). Permendikbudristek ini juga mengatur sejumlah wewenang Satgas. Namun, jika kita cermati ketentuan Pasal 29 yang merinci wewenang ini, tidak ada wewenang yang diberikan kepada Satgas apabila pelaku (terlapor) adalah pemimpin perguruan tinggi.  Artinya, wewenang Satgas ini sebenarnya mengalami “kelumpuhan” saat berhadapan dengan pelaku di level pemimpin perguruan tinggi. Peraturan ini menyadari dilema seperti itu, sehingga Pasal 43 menyerahkan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan pemimpin perguruan tinggi kepada Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek.

Catatan yang tidak kalah pentingnya adalah tentang pembentukan Satgas yang rupanya memiliki pentahapan yang sangat serius. Benar, bahwa Satgas ini diangkat dan ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi, tetapi tahapan pembentukan Satgas ini perlu dimulai melalui pendaftaran terbuka, seleksi administrasi, pengumuman hasil seleksi, asesmen (oleh Unit Kerja di Kemendikbudristek), pengumuman hasil asesmen, dan penetapan keanggotaan. Dengan demikian, seharusnya Kementerian sudah sejak awal mengetahui Satgas mana saja yang dibentuk mengikuti prosedur sesuai Permendikbudristek ini (lihat Pasal 33 dst.).

Bagaimana jika ada pemimpin perguruan tinggi melakukan jalan pintas dengan membentuk Satgas tanpa melalui proses demikian? Permendikbudristek ini tidak secara eksplisit menyatakan apa implikasi dari pengabaian demikian. Karena Kementerian sudah memiliki data setiap Satgas di masin-masing perguruan tinggi, maka Satgas yang dibentuk secara “cacat prosedur” seharusnya tidak memiliki wewenang untuk menjalankan tugas dan fungsi sesuai Permendikbudristek ini.  Kemudian, bagi siapapun yang menjadi terlapor dan mampu bersikap kritis, ia pasti akan mempermasalahkan keabsahan semua proses dan produk dari Satgas tersebut.

Tujuan dari proses pembentukan Satgas yang diatur secara sangat serius dan rigid di dalam Permendikbudristek ini tentu dapat dipahami. Tuduhan terhadap perbuatan kekerasan, akan langsung berkorelasi dengan reputasi seseorang, khususnya bagi penyandang profesi dosen. Ini bukan perkara sepele! Oleh sebab itu, keanggotaan Satgas ini harus terdiri dari orang-orang yang mumpuni. Demikian ketatnya persyaratan itu, bahkan, masyarakat luas pun sampai-sampai diberi kesempatan untuk memberi tanggapan terhadap rekam jejak para calon anggota Satgas (Pasal 39). Jika ada tanggapan yang menunjukkan sisi negatif dari calon, dan ia tak mampu mengklarifikasi, maka pencalonannya harus dibatalkan.

Satgas yang sudah terlanjur terbentuk sebelum Permendikbudristek ini, menurut ketentuan peralihan, diperbolehkan untuk tetap menjalankan tugasnya, sampai dengan masa tugasnya berakhir (Pasal 99). Sampai kapan masa tugas tersebut? Menurut Pasal 44 ayat (1), masa tugas Satgas adalah dua tahun dan dapat dipilih kembali. Ini berarti, Satgas yang sudah dibentuk di semua perguruan tinggi sebelum Permendikbudristek ini berlaku, harus menyesuaikan dengan jangka waktu masa tugas tersebut dan tidak boleh sampai melampaui waktu dua tahun itu.

Perlu dicatat bahwa dalam mengemban tugasnya, Satgas akan bersinggungan sangat erat dengan data pribadi terlapor dan korban. Oleh sebab itu, pemahaman anggota-anggota Satgas terkait perlindungan data pribadi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022, mutlak perlu. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh Permendikbudristek ini, sehingga ikut digarisbawahi dalam Pasal 95 ayat (4). Kapasitas keilmuan dan teknis para anggota Satgas juga wajib terus-menerus ditingkatkan dan dimutakhirkan, antara lain berkenaan dengan sumber-sumber hukum yang relevan (note: sumber hukum di sini tidak hanya peraturan perundang-undangan), psikologi korban, teknik investigasi, teknik penjatuhan sanksi, teknik pelaporan, dan kerja sama tim (note: Satgas memiliki tenggat waktu dalam menjalankan tugasnya, sehingga harus bekerja efisien). Kehati-hatian juga layak ditekankan selama para anggota menjalankan tugas. Apabila Satgas tidak bekerja ekstra-hati-hati, bukan tidak mungkin ada terlapor yang menjadikannya sebagai celah untuk menggugat (secara perdata) atau bahkan melapor (secara pidana) pemimpin perguruan tinggi c.q. Satgas tersebut.

Di balik niat baik dari peraturan ini, khusus bagi para dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tengang Guru dan Dosen) tentu harus juga mendapatkan perlindungan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hak terlapor untuk membela diri perlu dialokasikan secara memadai dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan. Interaksi dosen dengan mahasiswa, bukan tidak mungkin menimbulkan kesalahpahaman. Kerapkali dosen harus menjalankan diskresi yang dimilikinya, misalnya dengan memerintahkan mahasiswa yang tidak disiplin di kelas untuk keluar dari ruangan. Ucapan-ucapan verbal seperti itupun, apabila tidak dibingkai melalui tafsir yang kontekstual, terbuka untuk dimaknai sebagai “kekerasan” sebagai akibat definisi yang terlalu longgar menurut Permendikbudristek ini.

Artinya, area-area diskresioner ini harus juga menjadi perhatian, sehingga niat baik dari peraturan ini tidak sampai melenceng dalam penerapannya di lapangan. Satgas harus mampu memprediksi agar putusan setiap kasus memiliki dasar yang kuat untuk dikukuhkan apabila putusan ini diajukan keberatan ke pihak eksternal. Sangat disayangkan apabila putusan Satgas sampai dianulir (baca: diubah) oleh Kementerian karena pada gilirannta hal ini akan mencederai kewibawaan perguruan tinggi tersebut. (***)


 

 

 

 

 

... ... ...