Konsep Return on Value (ROV) semakin mendapat perhatian dalam diskursus pembangunan berkelanjutan, terutama dalam konteks pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Berbeda dengan Return on Investment (ROI) yang berfokus pada keuntungan finansial semata, ROV mengukur nilai holistik yang mencakup dampak sosial, lingkungan, dan tata kelola (ESG: Environmental, Social, Governance) dari suatu investasi atau kebijakan (Serafeim, 2020).
Mengapa ROV Relevan dalam SDGs?
ROV muncul sebagai respons atas keterbatasan pendekatan tradisional seperti ROI, yang gagal menangkap nilai non-finansial dan dampak jangka panjang dari pembangunan. Dalam konteks SDGs, ROV menjadi kerangka kerja kritis karena:
SDGs dirancang untuk menciptakan nilai jangka panjang, bukan sekadar keuntungan jangka pendek (UNCTAD, 2022). ROV membantu mengkuantifikasi dampak multidimensi—seperti pengurangan kemiskinan (SDG 1), pendidikan berkualitas (SDG 4), atau aksi iklim (SDG 13)—yang tidak tercermin dalam metrik keuangan konvensional (WEF, 2023).
Investor, bisnis, dan pemerintah semakin mengadopsi prinsip ESG dan impact investing, di mana keputusan didasarkan pada penciptaan nilai berkelanjutan (GSIA, 2022). Contohnya, laporan Deloitte (2023) menunjukkan bahwa perusahaan dengan ROV tinggi cenderung lebih resilien dan mendapat dukungan pemangku kepentingan.
ROV sejalan dengan kerangka Elkington’s Triple Bottom Line (People, Planet, Profit) (Elkington, 2018), yang menekankan harmonisasi antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Misalnya, proyek infrastruktur berkelanjutan mungkin memiliki ROI finansial moderat, tetapi ROV-nya tinggi karena mengurangi emisi karbon (SDG 13) dan menciptakan lapangan kerja inklusif (SDG 8) (McKinsey, 2023).
ROV sebagai Kerangka Kerja Baru
ROV bukan sekadar metrik, tetapi pendekatan strategis untuk:
Contoh Aplikasi ROV: Program energi terbarukan di Indonesia tidak hanya menghasilkan keuntungan finansial (ROI), tetapi juga meningkatkan akses listrik (SDG 7), mengurangi ketergantungan pada batubara (SDG 13), dan menciptakan lapangan kerja hijau (SDG 8)—sehingga ROV-nya tinggi (IESR, 2023). Namun pada kenyataannya ada Tantangan Implementasinya: Kesulitan standarisasi metrik ROV dan kebutuhan data longitudinal (GRI, 2024).
Dengan pendekatan ROV, pembangunan berkelanjutan tidak lagi dilihat sebagai biaya, melainkan sebagai pengungkit nilai jangka panjang yang inklusif dan transformatif.
2.1 Ketidakseimbangan dalam Pengukuran Dampak
Banyak organisasi masih mengandalkan metrik keuangan tradisional yang gagal menangkap nilai penuh dari investasi berkelanjutan (Eccles et al., 2020). Contoh:
2.2 Kesenjangan Waktu dalam Merealisasikan Nilai
Investasi SDGs seringkali membutuhkan waktu lebih lama untuk menunjukkan hasil dibandingkan proyek konvensional (Koller et al., 2020). Hal ini menyebabkan:
2.3 Fragmentasi Kerangka Pengukuran
Berbagai kerangka kerja pengukuran keberlanjutan (seperti GRI, SASB, TCFD) menciptakan kebingungan dalam menilai ROV (WEF, 2020). Dampaknya:
3.1 Pengembangan Metrik ROV yang Terstandarisasi
Perlu dikembangkan kerangka pengukuran yang komprehensif untuk menilai ROV dalam konteks SDGs, mencakup:
Contoh praktik baik:
3.2 Insentif untuk Investasi Jangka Panjang
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan:
3.3 Kolaborasi Multipihak
Menciptakan ekosistem yang mendukung pengukuran dan realisasi ROV melalui:
Konsep Return on Value menawarkan perspektif baru dalam mengukur keberhasilan implementasi SDGs, dengan menekankan pada penciptaan nilai holistik yang melampaui keuntungan finansial semata. Untuk mewujudkan potensi penuh ROV dalam mendorong SDGs, diperlukan:
Dengan pendekatan ROV yang matang, kita dapat mengubah paradigma pembangunan dari sekadar “return on investment” menuju “return on sustainable value” yang sesungguhnya.
Daftar Referensi
... ... ...