DARI MATA TURUN KE HATI: KONSEP VISUAL AESTHETIC PADA RUANG PUBLIK UNTUK MARKETING YANG INSTAGRAMMABLE

By: Ira Audia A.

DARI MATA TURUN KE HATI: KONSEP VISUAL AESTHETIC PADA RUANG PUBLIK UNTUK MARKETING YANG INSTAGRAMMABLE

 

Lajunya perkembangan teknologi digital pada abad ini telah menciptakan perubahan baru pada karakteristik masyarakat dan interaksi manusia terhadap ruang. Dahulu, restoran dan tempat makan dikenal secara viral berdasarkan rekomendasi orang-orang dekat (keluarga, tetangga, sahabat) berdasarkan rasa yang dihasilkan dari restoran/ warung makan tersebut. Pada era sebelum memasuki tahun 2000, ruang publik masih memiliki sekat jelas dalam peruntukannya: entah itu untuk retail, perkantoran, rumah makan, atau memang taman publik yang dapat diakses untuk semua kalangan masyarakat dengan gratis.

Dengan kemunculan teknologi smartphone yang disatukan dengan kamera, hal tersebut telah memunculkan fenomena perilaku selfie pada masyarakat dari lintas generasi, sosial-budaya, dan strata ekonomi. Penggemar selfie amatlah sangat beragam, mulai dari rakyat biasa hingga selebriti, dari pejabat tinggi kenegaraan hingga astronot yang sedang melakukan perjalanan luar angkasa (Tanasa, 2015).

Fenomena Selfie ini telah memunculkan karakteristik baru masyarakat dalam memilih destinasi wisata.

Karakteristik tersebut adalah bagaimana masyarakat memilih tempat tujuan wisatanya dengan melakukan sistem filtering dan survey melalui media sosial seperti Instagram dan Facebook. Kemunculan sosmed berbasis visual dan teks seperti Instagram, telah mampu memberikan wacana baru baik terhadap masyarakat sebagai konsumen maupun sebagai konten kreator.

 

Sebagai Konsumen:

masyarakat mendapatkan banyak sekali informasi dan alternatif pilihan yang dapat mereka tentukan sendiri. Dengan adanya informasi visual lokasi destinasi wisata, konsumen dapat membayangkan dengan lebih baik apa yang akan mereka dapatkan di tempat tujuan. Kebutuhan untuk dapat eksis di media sosial dengan mendatangi lokasi-lokasi yang sedang hits menjadi sebuah bagian dari gaya hidup masyarakat terutama generasi muda dengan rentang usia 15 – 35 tahun. Motivasi gaya hidup tersebut beragam, mulai dari motif tingkat tinggi: relasi sosial, ekspresi diri, dan presentasi diri (Van Hose, 2005). Motivasi lainnya dari swafoto adalah sebagai suatu bentuk eksistensi diri pengguna, agar tidak dianggap ketinggalan zaman dan mendapatkan pengakuan dari orang lain terhadap diri pengguna, melalui berbagai respon yang didapatkan dari mengunggah swafoto pribadi ke dalam akun media sosialnya ( Ajeng, D, Oktavia. R, 2018)

Sebagai Konten Kreator:

Dengan adanya banjir informasi visual, konsumen akan cenderung lebih selektif dalam memilah dan menentukan pilihan yang didapatkan dari sosmed. Hal itu akan membawa dampak yang lebih jauh lagi bagi para pelaku industri hospitality dan tourisme: yaitu adalah pendeknya rentang masa pakai suatu dekorasi interior akibat ketatnya persaingan visual. Dengan begitu, dampak lebih jauhnya adalah meningkatnya beban operasional suatu brand untuk perancangan ruang maupun desain secara keseluruhan.

Di masa kini dimana perlombaan visual semakin ketat dan masyarakat semakin berhasrat dalam mengejar hype sesaat, banyak industri melakukan sedikit trik: memilih untuk memfokuskan pada satu area tertentu sebagai pojok instagrammable, namun mengabaikan yang lainnya. Hal ini juga membuat banyak industri dan brand terjebak dalam lubang buaya: lebih berfokus pada visual ruang, namun tidak membangun sense of place yang baik, rasa yang memikat (industri F&B), interaksi antara brand-konsumen yang baik, sehingga pada saat hype terhadap lokasi mereka telah turun, konsumen sudah lupa dan tidak ingin kembali lagi ke tempat tersebut.

Fenomena ini menyiratkan dengan baik karakteristik masyarakat Indonesia yang berfokus kepada visual. Dengan keberadaan sosmed berbasis foto, visual culture pada masyarakat, terutama generasi muda, akan semakin terasah dan menyebabkan naiknya kesadaran masyarakat terhadap konsep-konsep estetika ruang maupun grafis. Hal ini tentu, telah memberikan angin segar kepada para desainer muda interior untuk dapat berkreasi dengan gaya-gaya perancangan yang konseptual, unik dan menarik. Seperti sebuah pepatah bangsa ini yang entah dari mana asalnya: Estetika Visual adalah sebuah konsep “Rasa”: Dari Mata, turun ke Hati. Dari keindahan sebuah ruang, diharapkan dapat berlanjut menjadi repeat visit, dan tercipta suatu attachment terhadap lokasi tersebut.

Source:

  1. Tanasa EJ. Studi Kualitatif Motif & Kepuasan Penggunaan Foto Selfie Dalam Akun Instagram [Internet]. 2015. Available from: https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/46711/Studi-Kualitatif-Motif-Kepuasan-Penggunaan-Foto-Selfie-Dalam-Akun-Instagram
  2. Fatanti, M. N., & Suyadnya, I. W. (2015). Beyond user gaze: How Instagram creates tourism destination brand?. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 211, 1089-1095.
  3. Terttunen, A. (2017). The influence of Instagram on consumers’ travel planning and destination choice.
  4. Okabe D, Ito M. Everyday Contexts of Camera Phone Use: Steps Towards Technosocial Ethnographic Frameworks. Höflich, Joachim Hartmann, Maren Eds Mob Commun Everyday Life An Ethnogr View [Internet]. 2005; Available from: http://www.itofisher.com/mito/archives/camphones.okabeito.pdf
  5. Ajeng D, Oktavia R. Motif Penggunaan Swafoto Sebagai Bentuk Eksistansi Diri Dalam Akun Instagram (Studi Deskriptif Kualitiatif Penggunaan Swafoto Dalam Media Sosial Instagram Sebagai Bentuk Eksistensi Diri Pada Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya). Representement [Internet]. 2018;1–9. Available from: http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/representamen/article/view/1420
Baskoro Azis