Oleh: Hilmi Dzakaaul Islam

Kota Malang merupakan wilayah yang telah berkembang lama sejak adanya era kolonialisme di Hindia Belanda yang sekarang menjadi Indonesia. Setelah era kemerdekaan, Kota Malang memiliki beragam peninggalan dari era kolonialisme yang salah satunya adalah objek benda berupa bangunan. Terdapat beragam bangunan dengan masing-masing fungsinya, misal perkantoran, hotel, restaurant dan juga rumah tinggal yang sekarang masih dapat ditemui di beberapa sudut Kota Malang. Memang tidak semua bangunan peninggalan era kolonial tersebut masuk dalam kategori cagar budaya (heritage) karena hanya bangunan tertentu saja yang memenuhi syarat seperti usia bangunan yang lebih dari 50 tahun, adanya nilai historis dan nilai budaya yang kuat sehingga dapat dikategorikan bangunan heritage.

Gambar 1. Kantor Karisiden Malang tahun 1936

Sumber: Kemenkeu RI

Bangunan heritage dilindungi oleh UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang didalamnya mengatur terkait kategori sampai dengan pemanfaatan dari bangunan cagar budaya tersebut. Artinya, diperbolehkan memanfaatkan bangunan heritage menjadi sebuah objek yang dapat memiliki nilai ekonomi di dalamnya namun dengan batasan-batasan yang telah diatur dalam UU tentang Cagar Budaya. Salah satu metode yang sering dilakukan adalah menerapkan konsep adaptive reuse pada bangunan heritage. Adaptive reuse memiliki prinsip utama sustainability untuk menghidupkan kembali bangunan dengan menyesuaian terhadap fungsi baru yang berkelanjutan, memperhatikan lingkungan sekitar dan sesuai dengan budaya dan kebutuhan masyarakat setempat, untuk menciptakan keselarasan visual, dapat diakses dengan mudah serta memiliki minimalisasi dampak lingkungan (Purnomo, et al., 2021). Selain itu juga penekanan terhadap aspek visual yang dapat menciptakan suasana ruang yang identik dengan masa lalu di masa kini.

Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting (UU Nomor 11 Tahun 2010). Konsep adaptive reuse umumnya digambarkan sebagai proses yang membuat bangunan dengan fungsi lama dikembangkan menjadi fungsi baru yang dapat mewadahi kebutuhan dan meningkatkan nilai ekonomi (Rahayu, et. al., 2023). Contohnya adalah The Shalimar Boutique Hotel di Jalan Cerme, Kota Malang yang dulunya pada tahun 1930-an sebagai gedung societeit, tahun 1964 berubah menjadi kantor RRI, dan terakhir tahun 1993 menjadi hotel sampai sekarang.

Gambar 2. The Shalimar Boutique Hotel Malang

Sumber: Dokumentasi pribadi, 2025.

Adanya konsep adaptive reuse pada bangunan heritage tersebut diharapkan mampu menjembatani kebutuhan untuk pemanfaatan bangunan yang masuk klasifikasi cagar budaya dengan potensi ekonomi yang tinggi namun dengan batasan-batasan yang sesuai peraturan serta menerapkan konsep sustainable yang tetap memperhatikan lingkungan sekitar.

 Referensi

Rahayu, T., dan Elly, A. S., (2023), Penerapan Metode Adaptive Reuse pada Bangunan Cagar Budaya Gedung Filateli Jakarta Pusat, Jurnal Ilmiah ARJOUNA, 7(2), 45-57.

Purnomo, et al., (2021), Implementasi Adaptive Reuse pada Interior De Tjolomadoe, Prosiding Seminar Nasional Manajemen, Desain & Aplikasi Bisnis Teknologi (SENADA), Vol. 4, 138-145.

UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya https://bphn.go.id/data/documents/10uu011.pdf