Semiotika Ruang Desa Penglipuran

Proksemika secara sempit diartikan sebagai sebuah cara komunikasi nonverbal, sedangkan secara luas proksemika dianggap sebagai semiotika ruang (semiotics of space). Proksemika adalah kajian tentang bagaimana manusia secara tidak sadar membuat struktur ruang mikro-jarak antar manusia dalam melakukan transaksi harian, organisasi ruang pada rumah tinggal dan bangunan-bangunan, dan pada akhirnya tata kota (Hall, 1963).

Desa Penglipuran dengan pola tata ruangnya yang cenderung mengarah ke pola linier dimana terdapat sebuah open space berupa jalan setapak terbentang dari arah utara (kaja) dan selatan (kelod) yang membagi permukiman warga menjadi dua bagian. Jalan setapak tersebut menjadi jembatan yang menghubungkan antara dua sisi ruang yang berbeda, yaitu arah utara (kaja) dengan filosofi positif dan arah selatan (kelod) dengan filosofi negatif.

Gambar 1. Jalan setapak diantara permukiman

Sumber: Acwin, 2003

Jalan setapak tersebut juga dapat menjadi sebuah sociopetal dan sociofugal tergantung dari waktu dan kondisi pemanfaatannya. Sociopetal adalah ruang yang cenderung menarik keberadaan orang untuk bersama dan sociofugal merupakan ruang yang cenderung memisahkan atau meniadakan kebersamaan individu. Jalan setapak tersebut menjadi sebuah sociopetal ketika warga Desa Penglipuran menggunakan jalan tersebut disaat waktu tertentu dengan tujuan yang sama untuk melakukan upacara menuju arah utara (kaja) ke Pura Penataran. Di sisi lain jalan setapak akan menjadi sebuah sociofugal ketika warga selesai melakukan upacara dari Pura Penataran, lalu turun ke arah selatan (kelod) menuju rumah. Warga akan mulai berpisah saat mereka sampai di depan pintu gerbang rumah (angkul-angkul) dan masuk ke dalam rumah masing-masing.

Gambar 2. Jalan setapak menjadi sociopetal diantara permukiman warga

Sumber: Data observasi pribadi, 2017

Selain itu juga ditemukan beberapa territorial signs pada pola ruang Desa Penglipuran, salah satunya adalah pagar rumah warga. Pagar rumah warga terlihat rapi berjajar diantara jalan setapak. Pagar rumah satu dengan lainnya terlihat sama dan seragam, terbuat dari material batu alam yang disusun bertumpuk serta terlihat khas dengan adanya gerbang rumah yang disebut angkul-angkul. Makna denotasi dari pagar rumah tersebut adalah sebagai pembatas area rumah dengan area luar, selain itu juga sebagai peringatan bagi orang luar.agar memperhatikan antara area ruang private (rumah warga) dan juga area ruang semi publik (area diluar pagar rumah warga). Sedangkan makna konotasi pagar rumah warga menandakan kesederhanaan, tradisional dan kesakralan yang indah, dilihat dari detail ukiran ornament tradisional Bali yang diaplikasikan pada pagar dan angkul-angkul rumah.

Gambar 3. Pagar rumah permukiman warga

Sumber: Google Earth, 2020 dan data observasi pribadi, 2017

Daftar pustaka:

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. (2003). Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal Permukiman Natah. 1(1).

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. (2008). Arsitektur Rumah Tradisional Bali: Berdasarkan Asta Kosala-Kosali. Udayana University Press, Denpasar. ISBN:  9789798286698.

Sachari, A. (2005). Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Penerbit Erlangga. Jakarta. ISBN:  979-741-648-8.

Sudarwani, M. Maria, Priyoga, Iwan. (2018). Kajian Pola Ruang dan Rumah Tradisional Desa Penglipuran. Jurnal Arsitektura. 16(2). 248-257. ISSN: 1693-3680 (Print) E-ISSN: 2580-2976 (Online).

Sumartono. (2007). Proksemika/Semiotika Ruang sebagai Sebuah Pendekatan untuk Penelitian Desain Interior. Jurnal Lintas Ruang. 1(1). 01-05. ISSN: 1978-0702.

Hilmi Dzakaaul Islam, S.Ds., M.Ds.