Triple Bottom Line
Triple Bottom Line
Glory Aguzman – D5368
Secara umum keberlanjutannya sebuah bisnis mempunyai tiga pilar yang tidak terpisahkan, tiga pilar tersebut adalah keuangan, sosial dan ekologis (Dyck, Walker, & Caza, 2019). Triple Bottom Line Theory mendefinisikan kembali nilai untuk tidak hanya fokus pada produk atau layanan akhir tetapi juga untuk memperhitungkan biaya sistemik pengiriman barang.
Keberlanjutan dalam buku Canibal with forks (Elkington, 1997) didefinisikan sebagai: (i) Kerangka kerja konseptual menyeluruh yang menggambarkan keseimbangan yang diinginkan, sehat, dan dinamis antara manusia dan sistem alam; (ii) Sistem kebijakan, kepercayaan, dan praktik terbaik yang akan melindungi keanekaragaman dan kekayaan ekosistem planet ini, menumbuhkan vitalitas dan peluang ekonomi, dan menciptakan kualitas hidup yang tinggi bagi manusia dan, (iii) Visi yang menggambarkan masa depan yang siapa pun yang ingin menghuni. Definisi-definisi ini dikerucutkan menjadi sebuah pengertian bahwa penerapan keberlanjutan pada tiga elemen kehidupan: pertimbangan ekonomi atau keuangan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat dan individu manusia: triple bottom line of sustainability yang berarti meningkatkan kualitas ekonomi dan sosial dari kehidupan sambil membatasi dampak pada lingkungan pada daya dukung alam.
Dalam kerangka kerja ini, solusi ideal untuk semua jenis tantangan akan menghasilkan manfaat jangka panjang diketiga bidang. Keberlanjutan dalam sebuah Desa Wisata merupakan faktor yang mendukung karena terkandung sebuah unsur kepuasan turis untuk mendapat pengalaman wisata dan menarik wisatawan lain untuk berkunjung (Randelli & Martellozzo, 2019). Triple bottom line sebagai agenda keberlanjutan yang dalam pengembangan berkelanjutan melibatkan simultan kemakmuran ekonomi, kualitas lingkungan, dan keadilan sosial yang menekankan kemakmuran ekonomi, pembangunan sosial dan kualitas lingkungan sebagai metode terintegrasi dalam melakukan bisnis (Elkington, 1997). Seiring perkembangan jaman semakin dikenal bahwa perhatian pemimpin organisasi semakin meningkat terhadap sosial dan pengaruh lingkungan terhadap organisasi mereka (Mintz, 2011).
Mengabaikan tanggung jawab sosial dapat mempengaruhi kinerja dan keberlanjutan bisnis (Uniamikogbo & Amos O., 2016), kerusakan lingkungan akibat pencapaian peningkatan ekonomi terjadi dibelahan bumi sehingga hal ini harus segera diperbaiki oleh konsep triple bottom line yang secara berasamaan harus dikelola oleh seorang pemimpin organisasi dan kesadaran sosial dari masyarakat sekitarnya (Fasoulis & Rafet, 2019). Pendekatan triple bottom line untuk keberlanjutan adalah definisi konsep multi-dimensi yang, secara tidak langsung, menetapkan dasar untuk pendekatan terpadu dalam mengelola dan mengukur keberlanjutan.
Pendekatan semacam itu membentuk proses manajerial yang dinamis yang secara terus menerus mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan perusahaan dalam lingkungan bisnis yang beragam (Fauzi, Svensson, & Rahman, 2010). Konsep “Triple Bottom Line” yang telah diciptakan oleh Elkington, telah merubah tren perusahaan atau organisasi dimana perusahaan atau organisasi tidak hanya mempertimbangkan hanya mencakup aspek keuangan saja, tetapi juga sosial dan lingkungan dengan demikian, kinerja perusahaan yang diperluas, sering disebut sebagai perusahaan yang berkelanjutan kinerja akan mencakup komponen ukuran kinerja keuangan, sosial, dan lingkungan (Fauzi et al., 2010). Hari ini adalah jaringan padat investasi yang saling menukar, informasi, barang dan orang, serta pusat inovasi dan manajemen pengetahuan, hubungan sosial dan ekonomi semakin kuat, dan lingkungan menjadi konsumen besar sumber daya dan penghasil gas rumah kaca. Oleh karena untuk melestarikan sumber daya dan menjamin layanan sosial dan kesejahteraan masyarakat perlu perencanaan dan tindakan kebijakan diperlukan yang kontribusi partisipasi masyarakatnya untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan (González-García et al., 2019).
Published at :