Surat Kartini untuk Kita
oleh: Agung Setiawan, S.Hum., M.Hum.
Tanggal 21 April tidak hanya menjadi momentum kebangsaan yang identik dengan kelahiran Ibu Kita Kartini dan tonggak perjuangan hak dan martabat perempuan Indonesia di segala bidang, terutama pendidikan dan politik. Ataupun juga selalu diasosiasikan dengan lomba kebaya, seminar hingga diskusi terkait emansipasi. Akan tetapi juga akar sejarah intelektual religius dan nasionalisme sosok Kartini, terutama yang berkaitan dengan diskursus reformasi sosial dan relevansinya dengan pemikiran islam modern. Lahir dalam lingkungan aristokrat yang feodalistik dan konservatif tidak menyurutkan niatnya untuk bisa memahami Islam lebih dalam menurut pengakuannya sendiri dalam salah satu suratnya kepada Nyonya Abendanon (1902), dituliskan bahwa ia sangat menyayangkan bahwa banyak orang islam jawa hanya mengikuti tradisi tanpa memahami ajaran sebenarnya. Otokritik kebangsaan yang lugas dan jujur telah dilakukan Kartini sebagai demarkasi tegas antara etnosentrisme dan nasionalisme bagi permulaan bangsa yang baru mulai terlahir.
“Habis Gelap Terbitlah Terang” diterjemahkan oleh Armijn Pane pada tahun 1922 dari judul asli “Door Duisternis Tot Licht”, merangkum esensi dari kumpulan surat Kartini yang diterbitkan oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911 jauh sebelum momentum Sumpah Pemuda dan bahkan Kelahiran Pancasila. Menilik dinamika intelektual Kartini terlihat dari pemilihan kata perempuan ketimbang wanita pada setiap surat-suratnya. Dalam Teks surat Kartini kepada Nyonya N. Van Kol. Dokumentasi Agustus 1901, termuat lebih dari 15 redaksi kata perempuan. Istilah perempuan dipilih karena lebih netral dari segi etimologis, mempunyai akar dari bahasa melayu dengan pengertian “empu” yang berarti puan atau orang yang dihormati. Dari perspektif kesetaraan, istilah ini dianggap lebih sesuai untuk merepresentasikan status subjek otonom. Sedangkan untuk istilah wanita yang diambil dari bahasa sanskerta yaitu “vanita” berarti istri atau orang yang patut dicintai, walaupun sering dikaitkan dengan frasa bahasa jawa “wani ditoto” berarti berani diatur dalam konteks bersedia mengikuti tata krama dan adat dalam rumah tangga. Namun istilah ini lebih cenderung menekankan pada status objek heteronom yang dikenakan pada perempuan secara eksternal dalam masyarakat.
Masih dari perspektif tekstual surat Kartini kepada Nyonya Van Kol, Kartini menuliskan, “ Karena saya yakin sedalam-dalamnya…..maka tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih sungguh-sungguh yang saya inginkan kecuali dididik dalam bidang pengajaran.” Berarti juga dalam konteks kebangsaan, ada perempuan yang bertekad untuk mengajarkan sesuatu hal kepada perempuan lainnya yang belum terdidik. Dalam kalimat berikutnya tujuan itu diperkuat dengan semangat Kartini untuk bisa mengaktifkan posisi perempuan lainnya yang masih terbilang pasif. Diperkuat dengan teks yang berbunyi, “dan untuk perempuan itu sendiri dengan amat sangat kami inginkan mereka dapat pendidikan dan pengajaran yang bagi mereka akan merupakan rahmat besar”.
Kenapa pendidikan dan pengajaran menjadi sebuah rahmat besar dikarenakan bisa dilihat di alinea berikutnya dalam surat tersebut bahwa, “ amat banyak hal ihwal yang menyedihkan dalam dunia perempuan kami, bangsa jawa. Alangkah banyak dan pahitnya penderitaan disitu). Sedangkan dalam kenyataannya satu-satunya jalan yang terbuka bagi gadis jawa dan terutama gadis bangsawan adalah perkawinan.” Perkawinan menjadi tujuan hidup dari perempuan dan menjadi satu-satunya media legitimasi bagi diri perempuan, menunjuk pada perkawinan yang juga dibedakan dari kata nikah menjadi sebatas tugas seorang wanita. Maka dari itu, kondisi ini menurut Kartini menyataakan bahwa perkawinan itu sendiri bukanlah panggilan hidup tapi hanya sebatas sumber penghidupan dan perjanjian itu sendiri membuat perempuan menjadi rendah dan hina karena tidak bisa memperjuangkan panggilan hidup yang sesungguhnya. Oleh karenanya yang diharapkan pada diri perempuan hanyalah sebuah kepatuhan buta.
Beban feodalisme dan hirarkis asimetris yang dirasakan Kartini tertuang pada kutipan, “Saya seorang anak bangsa Jawa, menjadi besar di haribaan bangsa itu dan seumur hidup tinggal di tengah-tengahnya, memberi kepastian kepada nyonya bahwa perempuan bumiputera juga memiliki nurani yang sanggup merasa, menderita seperti hati perempuan lainnya yang beradab di negeri nyonya.” Sedangkan menurut pemahaman Kartini dalam perspektif islam, posisi perempuan dimuliakan derajatnya terutama status ibu yang diemban sebagai “Al-umm madrasatun ula” atau ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Dengan tujuan ini, maka pengajaran pada kaum ibu untuk bisa mendidik merupakan faktor signifikan atas keunggulan generasi bangsa. Proyek emansipasi adalah pula proses mengembalikan posisi azali dari martabat perempuan sebagai ibu yang terdidik dan memiliki kapasitas sangat signifikan bagi kemajuan bangsa. Spirit ini juga relevan dengan pandangan pahlawan nasional, Dewi Sartika dalam mewujudkan sekolah perempuan pertama.
Tak jarang dalam surat-suratnya juga, Kartini mengkritik sistem pendidikan saat itu yang berbasis pendidikan barat yang hanya mengutamakan laki-laki, sedangkan dalam islam sendiri tidak pernah melarang perempuan untuk belajar. Emansipasi perempuan dalam islam pun bukan lah agenda baru seperti kesetaraan perempuan ala Barat terungkap dalam suratnya kepada Stella Zeehandelar bahwa bagi Kartini, perempuan seharusnya tidak hanya dipandang sebagai istri atau ibu rumah tangga tetapi juga memiliki peran penting dalam masyarakat sebagaimana dicontohkan oleh perempuan-perempuan di masa Nabi Muhammad SAW, terutama istri tercinta beliau yakni Siti Khadijah. Siti Khadijah memiliki status sosial yang sangat tinggi bahkan sebelum menikahi Nabi Muhammad SAW, beliau disegani karena merupakan pengusaha kaya raya yang memiliki jaringan dagang besar bahkan dijuluki “At Thahirah” (yang suci) dikarenakan kejujurannya dalam bisnis dan moralitasnya yang tinggi. Akhlak yang luhur dalam kebijaksanaan dan kepekaan sosial menjadikan beliau tidak pernah dikungkung dalam sistem patriarki nan hirarkis manapun. Bahkan setelah menikahi Nabi Muhammad SAW pun, beliau menjadi konsultan, investor hingga pejuang paling depan bagi perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sehingga bagi Kartini, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan bukanlah bagian dari Keislaman itu sendiri. Seperti halnya poligami yang bahkan terdampak pada dirinya sendiri dalam tradisi aristokrat jawa, secara genealogis pun sebenarnya tidak identik dengan Islam. Perjalanan kisah cinta Rasulullah dengan Siti Khadijah menjadi bukti nyata, selama berumah tangga beliau tidak pernah dimadu hingga beliau wafat. Nabi Muhammad sepeninggalan Siti Khadijah sangat berduka hingga tahun tersebut dinamakan tahun kesedihan dan peristiwa Isra Mi’raj menjadi salah satu alasan pelipur lara beliau. Pernikahan selanjutnya ditujukan untuk upaya perlindungan serta penyantunan bagi janda dan anak yatim terlihat dari beberapa istri beliau yang bahkan merupakan janda-janda yang sudah lanjut usia. Secara spesifik syariat islam mengatur dan membatasi pernikahan hanya bagi yang bisa berlaku adil dan memberikan kesetaraan hak terutama terkait hukum waris. Sedangkan sebelumnya jumlah istri dalam poligami tidak diatur dan posisi perempuan dijadikan sebatas properti bagi kaum laki-laki kebudayaan arab jahiliyah. Melalui dialektika inilah sosok Kartini tidak segan-segan mengambil konsep dari gelap menjadi terang berasosiasi dari kutipan ayat suci Quran, النُّوْرِۗ اِلَى الظُّلُمٰتِ مِّنَ (Dari kegelapan menuju cahaya) yang muncul di QS. Al-Baqarah (2:257), QS. Al-Maidah (5:16), QS. Ibrahim (14:1).
Konsep cahaya disini dimaksudkan sebagai kontras dengan konsep jahiliyah yang didefinisikan sebagai kebodohan dan kedangkalan baik secara iman maupun ilmu. Banyak tokoh-tokoh bangsa yang terdampak dengan perjuangan dari “gelap menuju terang” nya Kartini ini, salah satunya adalah Masjhoedoelhaq atau yang lebih dikenal dengan H. Agus Salim. Beliau adalah tokoh bangsa yang menjadi bapak pandu Indonesia dan mantan perdana menteri Indonesia yang banyak menorehkan prestasi di kancah diplomasi global. Beliau mengenyam pendidikan yang layak di HBS Batavia atas usulan Kartini dan adiknya Rukmini kepada pemerintah kolonial Belanda dalam program beasiswa pendidikan kepada pemuda pribumi berbakat. Kekaguman Kartini pada dunia intelektual juga dimulai dari sosok sang kakak yaitu RM. Kartono yang menjadi inspirasi baginya. Raden Mas Panji Sosrokartono tidak memanfatkan status lahirnya (ascribed) untuk bisa menjadi sosok berpengaruh yang menguasai 25 bahasa (poliglot) dan menjadi jurnalis perang internasional yang dia dapatkan berkat ketekunan dalam belajar (achieved).
Kartini telah berhasil menjadi inspirasi bukan hanya dari kacamata korban penindasan yang tidak berdaya secara emosional dan intelektual tapi juga subjek otonom yang berpegang teguh pada pendirian yang rasional sekaligus religius. Bukan hanya menyemangati kelahiran bangsa Indonesia tapi juga menyulut api kesadaran pada pahlawan nasional. Hari kelahiran beliau sangat pantas diresmikan sebagai hari besar nasional hingga saat ini pun semoga nyala api yang bergaung hampir seabad yang lalu semoga masih tetap membara. Surat menyurat yang dilakukan Kartini bukan hanya ditujukan pada teman-teman eropanya saja tapi juga bagi kita semua untuk merefleksikan semangat dialektis sekaligus emansipatoris dalam membawa indonesia gelap menuju indonesia terang.