Kita Masih Harus Berjuang dan Belajar Hidup Bersama (Catatan Kecil Terkait Kasus Papua)
Beberapa hari belakangan ini, kita dikejutkan pada kasus kericuhan (konflik horizontal) yang terjadi di antara anak bangsa ini. Beritanya menyebar luas di media massa dalam kecepatan bertempo tinggi, skala lokal hingga internasional. Belum ditambah dengan tuturan dari mulut ke mulut. Jelasnya, kericuhan dan konflik sosial yang terjadi di Jawa Timur hingga akhirnya merembes hingga tanah Papua, pulau paling timur Indonesia, pulau yang memiliki kekayaan sumber daya alam luar biasa. Kita prihatin dan sedih atas peristiwa yang mencoreng rasa persatuan dan naluri kemanusiaan kita bersama di dalam rumah bersama Indonesia ini.
Konflik sosial dalam hidup bersama merupakan hal yang lazim terjadi. Konflik terjadi ketika terjadi ketidaksesuaian dan ketidakcocokan antara keinginan dan fakta, antara cita-cita dan kenyataan. Faktor penyebab konflik bisa terjadi karena beda keyakinan, beda pikiran, beda prinsip, beda kepentingan, beda budaya dan lain sebagainya. Litani ini masih dapat diperpanjang.
Apapun motif dan pemikirannya, namun secara filosofis, dalam kasus Papua, kita menyadari bahwa kita anak bangsa ini masih belum sukses dalam hidup bersama di atas kenyataan perbedaan-perbedaan yang secara esensial melekat pada diri kita. Kita masih belum cukup beradab dan adil dalam menghargai realitas perbedaan di antara kita. Kita belum cukup menghargai asal usul kita: suku, etnis, agama, ras dan atribut sosial lain yang melekat pada diri kita sebagai anak bangsa.
Kasus Papua kembali mengingatkan kita akan makna nasionalisme kita bangsa Indonesia yang sejatinya adalah bangsa yang berdiri di atas perbedaan. Perbedaan itu garis hidup kita. Kita tak mungkin sama dalam aspek: suku, ras, budaya, agama dan lain sebagainya. Kita beda dalam banyak aspek kehidupan kita. Dan oleh karena itu kita perlu saling menghargai dan menghormati perbedaan kita. Kita pun tidak boleh mempolitisir perbedaan-perbedaan kita untuk tujuan yang rendah entah itu ekonomis, politis, atau apapun yang tidak relevan dengan rasa nasionalisme, jiwa persatuan dan kemanusiaan kita sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Menghormati perbedaan, artinya kita tidak perlu berdebat dan mempersalahkan realitas perbedaan kita. Apalagi mempertanyakan, menggugat, atau bahkan mengadili perbedaan kita. Kita hanyalah mampu menerima perbedaan itu sebagai suatu faktisitas, kenyataan yang terberikan. Ketika kita di dalam rahim sang ibu, kita tidak minta (pilih) untuk lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Atau juga kita tidak minta untuk memeluk agama X atau Y. Kita tidak mampu memilih untuk lahir cantik atau tidak cantik, ganteng atau pun tidak ganteng. Kita tidak pernah memilih untuk menjadi seperti apa kita nanti ketika terlempar keluar dari rahim sang ibu yang melahirkan kita. Kita menerima semua kemanusiaan kita tanpa penentuan kita. Argumentasi teologis mengatakan, kita menerima diri kita hanya karena Kuasa Allah, Maha Pencipta kita. Kemanusiaan kita terima dari Yang Kuasa. Sebagai konsekuensi logisnya, kemanusiaan kita patut kita hargai dengan segala kebesaran jiwa, lapang dada dan pemikiran yang bijak-dewasa.
Oleh karena itu, sikap tepat untuk sukses dalam hidup bersama adalah sikap etis-spiritual atas kenyataan kemanusiaan kita sendiri. Kita perlu saling menghargai dan hormat pada sesama karena kita sama-sama manusia. Dan yang lebih dari itu, karena kita sama-sama ciptaan luhur Tuhan yang Maha Esa. Di titik ini kita harus memiliki iman filosofis akan kebenaran eksistensial kita bersama sebagai manusia yang patut saling menghargai kapan saja, di mana saja, dalam kondisi apa saja. Mari kita saling menghargai kenyataan kemanusiaan kita apa adanya. Kita hargai segala realitas kedirian kita sama-sama sebagai ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa. Kita hargai diri kita yang memiliki otak, hati, jiwa, tubuh dan emosi.
Secara sosiologis, kita masih harus terus berjuang dan belajar untuk hidup bersama. Justru karena kita berbeda, maka kita masih harus terus belajar. Jika kita sama, maka kita berhenti belajar tentang kita. Berhenti belajar tentang kita itu sama artinya dengan mati! Dan kita tidak ingin mati. Kita ingin hidup.
Kita itu unik, khas, khusus, beda, dan spesifik. Kita masing-masing itu spesial. Maka belajar untuk menerima keunikan dan kekhususan kita itu sungguh suatu imperatif etis, tanggung jawab kemanusiaan kita bersama sampai kapan pun selagi kita masih manusia, selagi nafas masih menyatu dengan raga kita.
Kita juga dukung segala upaya pemerintah untuk melakukan pendekatan dan dialog positif-konstruktif untuk menyelesaikan masalah ini dengan bijak dan damai. Tak luput pula tokoh masyarakat, tokoh agama dan kaum muda perlu bekerja sama untuk menjaga semangat persaudaraan dan persatuan di atas bumi pertiwi Indonesia ini. Media juga tidak boleh memberitakan informasi palsu yang memancing suasana lebih panas lagi. Kita berhadap Indonesia dan Papua kembali tenang dan damai seperti sedia kala.
Semoga semua rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Sumatera hingga Papua tetap tenang, saling menghargai sebagai saudara, kembali damai dan terus merajut rasa persatuan dan kesatuan demi kebaikan kita bersama di dalam rumah Indonesia ini. Salam Indonesia, Salam Persatuan, Salam Kemanusiaan.