“Manusia Ekologis”: Alternatif Menjadi Manusia di Tengah dan Pasca Covid 19
By: Frederikus Fios
Lebih dari 200 negara di dunia ini masih sedang dalam upaya serius untuk melakukan perang melawan Coronavirus (Covid 19). Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan Covid 19 ini akan benar-benar sirna atau beranjak pergi dari kehidupan umat manusia di seantero planet bumi ini. Kita terus berusaha untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi covid ini dengan pola pikir kita, sikap kita dan tindakan-tindakan kita untuk menyelamatkan kehidupan.
Pada Bulan April lalu, tepatnya tanggal 18 April 2020, Singapore University of Technology and Design (SUTD) mempublikasikan sebuah rilis informasi yang berisikan prediksi berdasarkan data dari perkembangan Covid 19 hingga berakhirnya virus mematikan ini untuk berbagai negara di dunia ini (bdk https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/27/091542965/ini-prediksi-akhir-wabah-virus-corona-di-berbagai-negara-indonesia-kapan?page=1).
SUTD merilis Covid 19 akan berakhir di Amerika Serikat pada 26 Agustus 2020, Singapura 7 Agustus 2020, India 13 Juli 2020, Arab Saudi 11 Juli 2020, dan Italia 8 Mei 2020. Pandemi Covid 19 untuk Indonesia sendiri, diprediksi SUTD, baru akan berakhir 100 persen pada 7 september 2020.
Proyeksi berakhirnya pandemi Covid 19 ini tentu merupakan suatu ramalan ilmiah menggunakan metode ilmu pengetahuan yang bersifat prospektif. Sebagai sebuah ramalan, teori kemungkinan tentu masih berlaku dalam prediksi ini. Kita juga tidak boleh bersikap apriori begitu saja untuk menerima ramalan ini sebagai hal yang benar seratus persen. Kita juga tidak boleh meragukan kebenaran ilmiah prediksi ini. Kita pun tidak boleh fatalistis. Semuanya masih fifty-fifty alias 50-50 persen. Bisa ya, bisa tidak. Bisa lebih cepat atau bahkan bisa lebih lama waktu berakhirnya pandemi covid 19 ini. Semuanya tergantung cara hidup kita.
Kita tidak perlu berdebat soal kapan berakhirnya pandemi covid 19 ini. Yang penting bagi kita adalah cara hidup kita. Kita terus berjuang untuk setia menjaga kesehatan diri, setia menjaga jarak fisik dan jarak sosial, serta mengurangi frekuensi interaksi berlebihan dalam jumlah banyak dengan orang lain di sekitar kita. Peraturan dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditentukan pemerintah perlu kita taati bersama.
Dari perspektif filosofis, pandemi covid 19 merupakan suatu momentum penting bagi seluruh umat manusia untuk berefleksi, mempertanyakan kembali hakikat eksistensi dan co-eksitensi kita bersama entitas others (yang liyan). Di mana-mana banyak warga dunia berdoa, peduli kesehatan, saling membantu, saling mengingatkan, dan hanyut dalam solidaritas universal untuk cepat keluar dari gurita jaringan Covid 19 ini.

https://cdn-radar.jawapos.com
Jauh di lubuk hati manusia yang terdalam, manusia seolah-olah mengalami fenomena kekosongan eksistensial sebagai manusia. Atau bisa juga merasakan kecemasan eksistensial (existential anxiety), meminjam istilah teolog Paul Tillich. Manusia mengalami kegelisahan kekinian, hic et nunc (kini dan di sini) sebagai manusia modern. Manusia seakan mengalami kehancuran diri di dalam berbagai aspek kehidupan: ekonomi, kesehatan, politik, bisnis, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya.
Semakin hari kita merasakan semua urusan manusia dipaksa ditunda, atau dialihkan caranya dalam bentuk substitusional lain, yang tentu tidak lazim seperti biasanya. Pola-pola hubungan interaktif manusia berubah. Jarak fisik dipersempit, jarak maya (daring/online) diperlebar dan mengalami perluasan fungsi. Inikah era kejayaan dan keemasan dunia maya?
Kita semua seolah merasakan dan mengalami ruang gerak fisik kita terbatas, karena hanya tinggal di rumah saja atau di lingkungan fisik dekat rumah. Kebebasan kita seolah dipasung. Kemerdekaan kita dirampas. Kebahagiaan kita tersandera. Siapa yang mengambil semua kemerdekaan dan kebebasan itu? Lagi-lagi covid 19 jawabannya.
Kebebasan kita selama ini bisa saja kebebasan yang merusak. Kemerdekaan kita selama ini boleh jadi merupakan kemerdekaan yang tidak etis. Titik fragilnya terletak pada sikap konsumtif kita yang merusak alam, sikap rakus dan serakah kita yang berlebihan tanpa mampu dikendalikan oleh nalar sehat, yang berdampak pada kerusakan alam lingkungan kosmik dan ekosistem semesta. Ekonomi yang kita bangun selama ini berbasis pada pencapaian profit thinking (capaian keuntungan yang maksimal) tanpa peduli alam. Ekonomi yang kita bangun berorientasi pada ekonomi kuantitatif dan bukan ekonomi kualitatif. Di sinilah kata-kata Henryk Skolimowski mendapatkan pembenarannya. “Hidup yang tidak memperhatikan ekonomi kualitatif adalah hidup yang tidak bermakna”.
Ekonomi kualitatif tidak mementingkan orientasi capaian material, tetapi memperhatikan keseimbangan ekologis dalam pencapaian aspek ekonomi pembangunan manusia. Di saat Covid 19 ini, ketika banyak negara peduli akan kesehatan, peduli akan kehidupan, peduli akan lingkungan, peduli akan tanggung jawab individu dan bersama mengatasi covid 19, kita sebetulnya sedang menghayati eco-philosophy.
Eco-philosophy (istilah Skolimowski) adalah suatu paradigma pemikiran kontemporer yang mengkritik cara hidup manusia modern yang serakah dan rakus, kritik atas cara pikir atomisme-logis yang mengobjekkan alam, kritik atas cara pikir antroposentrisme yang mensuperiorkan posisi manusia dalam tatanan alam semesta dan mensekunderkan entitas yang lain.
Saat ini, di tengah covid 19, kita semua umat manusia sedang berpikir dan bersikap ekologis. Kita menghidupi cara hidup ekologis, inilah spiritualitas manusia ekologis. Kita sedang peduli pada aspek ekologis dalam hidup dan kehidupan kita bersama seluruh bangsa umat manusia di planet bumi ini. Kita peduli pada alam lingkungan termasuk kita manusia dan makhluk lain di dalamnya. Bukan saja unsur biotik, melainkan juga unsur abiotik tanpa kecuali.
Kita sedang peduli pada hal yang spiritual, hal yang kualitatif, hal yang menghidupkan, hal yang menyeimbangkan, hal yang menyehatkan, hal yang mendamaikan, hal yang membahagiakan, hal yang menciptakan masa depan keberlanjutan lingkungan ekologis yang lebih baik bagi semua makhluk (baik yang hidup maupun yang mati). Selama masa lock down atau PSBB atau pembatasan fisik atau pembatasan jarak ini, kita belajar hal bermakna untuk hidup menjadi manusia ekologis. Sekali lagi kita belajar spiritualitas menjadi manusia ekologis.
Kita amati juga banyak orang mulai menanam sayuran, cabe, dan tanaman produktif lain di rumah dengan memanfaatkan keterbatasan lahan yang ada untuk dapat menopang ekonomi rumah tangga. Yang memiliki kebun dan tanah luas dapat semakin produktif menanam di kebunnya tanpa merusak alam. Yang tidak memiliki lahan dapat menggunakan polibek atau bahan hidroponik lain dalam menanam tanaman untuk mempercantik halaman rumah juga untuk tujuan konsumtif sayuran di tengah pandemi covid 19 ini. Ya, kita tinggal di rumah untuk memutus mata rantai covid namun tetap melakukan sesuatu dengan alam untuk kebaikan kita juga.
Upaya tim medis untuk merawat sesama kita yang sudah terkena korban covid kiranya cepat disembuhkan. Kita yang lain berjuang untuk taat dan tinggal saja di rumah agar tidak terkena dan juga menyelamatkan nyawa orang lain juga yang ada di sekitar kita. Kita tetap positif lakukan upaya dan cara-cara yang baik untuk menghindari covid 19.
Kini, sambil berjuang terus untuk mengatasi pandemi covid 19, kita telah bersikap ekologis. Kita menghidupi humanisme ekologis, kemanusiaan yang berorientasi lingkungan. Kita telah paham dan sadar betul akan betapa rapuhnya kita di tengah alam semesta ini. Kini kita sudah peduli pada alam dan mengakui kebesaran alam yang jauh melampaui diri kita manusia sebagai salah satu unsur di dalam alam semesta mahaluas ini. Kita harus sadar bahwa kita dan alam itu satu adanya.
Sikap ekologis yang sudah kita hidupi di masa covid 19 ini, mestinya tidak hanya terjadi pada saat pandemi covid 19 ini berlangsung, tetapi juga seharusnya berkelanjutan di masa depan pasca covid 19 ini berakhir menyebar. Menghayati spiritualitas kemanusiaan ekologis di tengah covid ini sungguh indah dan memesona.
Menjadi manusia ekologis itu layak menjadi pilihan alternatif menjadi manusia kini dan nanti. Tidak bisa tidak! Spiritualitas manusia ekologis perlu menjadi kesadaran bersama, pemahaman bersama, komitmen bersama, sikap bersama, tindakan bersama, kebijakan bersama, dan gerakan bersama seluruh umat manusia di planet bumi ini. Karena hanya dengan ini kita menghindari diri dari munculnya covid 19 jilid kedua dan seterusnya, atau apapun bentuk bencana lain yang lebih parah lagi berpotensi terjadi di masa depan.