Tradisi Bantengan dari Jawa Timur. Source: pspbsi.unikama.ac.id

Di Kabupaten Malang, tepatnya di wilayah yang masih kuat mempertahankan tradisi lokal, seni Bantengan menjadi salah satu identitas budaya yang melekat pada masyarakatnya. Bantengan bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi juga simbol spiritualitas, filosofi hidup, dan kebersamaan. Di tengah gempuran budaya populer modern, kehadirannya perlahan terdesak, terutama karena minimnya regenerasi dan kurangnya dokumentasi yang memadai. Dari sinilah muncul kebutuhan untuk menghadirkan pendekatan baru agar Bantengan tetap relevan dan dapat diwariskan dari generasi ke generasi.

Melihat persoalan tersebut, seorang peneliti sekaligus desainer, Yongkie Angkawijaya, menginisiasi upaya pelestarian melalui penerapan Teknologi Tepat Guna. Penelitian berjudul “Teknologi Tepat Guna, Penerapan Media Edukasi Interaktif Sebagai Upaya Pelestarian Seni Bantengan Pada Kelompok Seni Kebo Putro Joyo Anom, Kabupaten Malang, Jawa Timur” menjadi landasan inovasi ini. Tujuannya adalah menghadirkan media edukasi berbasis digital yang mampu menjembatani tradisi dan teknologi secara harmonis.

Namun perjalanan menuju pengembangan media edukasi interaktif ini tidak berjalan mulus. Tantangan terbesar datang dari keterbatasan sumber daya dan adaptasi teknologi. Para pelaku seni Bantengan di kelompok Kebo Putro Joyo Anom merupakan masyarakat lokal yang sangat mengakar pada praktik tradisi. Mereka terbiasa belajar melalui pengalaman langsung, bukan melalui perangkat digital. Perbedaan pola pikir dan ketidakterbiasaan terhadap teknologi membuat perkenalan media interaktif perlu dilakukan dengan pendekatan perlahan, penuh empati, dan terus-menerus.

Tantangan berikutnya adalah mengenai keberlanjutan. Teknologi yang diterapkan mungkin terlihat menarik pada awalnya, tetapi tanpa rasa memiliki dari komunitas, ia dapat berakhir sebagai proyek sementara yang tidak memberikan perubahan berarti. Yongkie menyadari bahwa pelestarian budaya harus berangkat dari komunitas itu sendiri. Maka, setiap langkah pengembangan dirancang secara partisipatif, melibatkan anggota kelompok sebagai narasumber utama serta penjaga autentisitas konten budaya.

Selain itu, resistensi budaya juga menjadi persoalan tersendiri. Beberapa anggota komunitas khawatir bahwa penggunaan teknologi digital dapat mengurangi nilai sakral dan makna filosofis Bantengan. Seni ini pada dasarnya memiliki unsur mistis yang dihormati, sehingga penyajiannya melalui media digital harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Teknologi diposisikan bukan sebagai pengganti tradisi, melainkan pendukung pelestariannya.

Dengan menghadapi berbagai tantangan tersebut, implementasi Teknologi Tepat Guna dilakukan melalui pengembangan media edukasi interaktif berbasis multimedia. Aplikasi ini berisi informasi lengkap tentang sejarah Bantengan, nilai filosofisnya, instrumen musik yang digunakan, kostum, hingga gerakan khas dalam pertunjukan. Tidak hanya berupa teks informatif, media ini dilengkapi audio-visual, video pertunjukan, ilustrasi, bahkan narasi langsung dari para pelaku seni.

Proses pengembangan ini tidak berjalan satu arah. Setiap komponen konten dikurasi melalui diskusi bersama anggota kelompok seni, sehingga tetap mencerminkan nilai budaya yang otentik. Pendampingan juga diberikan kepada komunitas agar mereka tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga mampu merawat dan memperbarui konten secara mandiri. Dengan demikian, media interaktif ini bukan hanya dokumentasi, tetapi juga alat pembelajaran yang mudah diakses oleh generasi muda.

Latar belakang pengembangan teknologi ini berangkat dari kekhawatiran akan pudarnya minat generasi muda terhadap seni Bantengan. Di era ketika hiburan digital begitu mendominasi, metode pewarisan budaya secara lisan kini dianggap kurang memadai. Pengalaman langsung memang penting, tetapi dokumentasi digital menjadi pelengkap yang mampu menarik perhatian generasi yang tumbuh dengan smartphone dan internet. Teknologi menghadirkan cara baru untuk menyebarkan nilai budaya tanpa kehilangan esensinya.

Melalui media interaktif, generasi muda dapat memahami Bantengan dari berbagai sisi. Mereka dapat melihat visualisasinya dengan lebih jelas, memahami filosofi gerakan, dan belajar mengenai peralatan musik yang digunakan. Akses informasi yang mudah ini membuka peluang pelestarian yang lebih luas, karena tidak lagi bergantung pada guru atau seniman yang jumlahnya semakin berkurang.

Potensi perkembangan teknologi ini juga sangat besar. Selain menjadi arsip digital, media interaktif dapat dikembangkan dalam bentuk Augmented Reality (AR) atau Virtual Reality (VR). Dengan teknologi tersebut, pengguna dapat merasakan pengalaman imersif melihat pertunjukan Bantengan secara virtual atau bahkan mencoba gerakan dasar melalui simulasi digital. Media ini juga dapat dijadikan bagian dari kurikulum muatan lokal di sekolah, memperkuat pendidikan seni sekaligus memperkenalkan budaya daerah kepada siswa.

Tidak hanya itu, produk digital ini berpeluang menjadi aset ekonomi kreatif. Dokumentasi dan media edukasi dapat dikemas menjadi produk wisata budaya yang memperkenalkan Bantengan kepada wisatawan lokal maupun mancanegara. Dengan demikian, pelestarian budaya tidak hanya menjadi beban komunitas, tetapi juga membuka peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Peneliti Penerapan Media Edukasi Interaktif Sebagai Upaya Pelestarian Seni Bantengan, Yongkie Angkawijaya, S.Sn., M.Ds.

Melalui inovasi ini, Yongkie Angkawijaya menunjukkan bahwa teknologi dapat bersinergi dengan budaya. Media edukasi interaktif bukan hanya alat modern, tetapi juga jembatan penting yang memastikan seni Bantengan tetap hidup, berkembang, dan diwariskan kepada generasi mendatang. Di tengah dunia yang terus berubah, tradisi tetap dapat bertahan selama ada kreativitas dan kepedulian untuk menjaganya.