Etika dan Privasi: Merekam Manusia di Kota yang Penuh Kamera

(sumber gambar : the Jakarta Post)
Di era ketika hampir setiap sudut kota diawasi CCTV, smartphone, dan kamera tersembunyi, batas antara ruang publik dan privasi semakin kabur. Street photography, yang sejak awal bertumpu pada spontanitas dan dokumentasi kehidupan sehari-hari, kini menghadapi realitas baru: manusia modern hidup dalam ekosistem visual yang terus-menerus merekam. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting bukan hanya mengenai legalitas, tetapi juga etika. Apakah seseorang yang berjalan di trotoar otomatis memberikan izin untuk wajahnya diabadikan, diperbesar, atau disebarkan ke seluruh internet?
Isu privasi semakin kompleks karena perubahan budaya. Generasi digital lebih waspada terhadap penyalahgunaan foto, mulai dari pencurian identitas hingga penggunaan ulang dalam konteks yang tidak diinginkan. Sementara itu, fotografer street cenderung berpegang pada tradisi dokumenter: rekam dulu, cerna kemudian. Namun di masyarakat yang sensitif terhadap eksposur, praktik ini bisa dianggap intrusif. Banyak kota juga memperketat regulasi privasi visual, memicu perdebatan apakah street photography masih mungkin dilakukan tanpa melanggar hak personal.
Di sisi lain, street photography tetap memiliki nilai sosial yang kuat. Ia membantu memetakan dinamika kota, memperlihatkan realitas urban, dan menjadi arsip visual budaya. Tantangannya adalah menemukan cara baru untuk tetap jujur secara visual tanpa mengorbankan martabat subjek. Para fotografer kini mulai mengadopsi pendekatan yang lebih empatik: mempertimbangkan konteks, menghindari eksploitasi visual, atau bahkan melakukan interaksi singkat untuk memperoleh izin informal. Kehadiran teknologi AI yang mampu menghapus identitas, mengaburkan wajah, atau memproses ulang foto secara non-destruktif juga membuka jalan baru untuk menjaga keseimbangan antara dokumentasi dan privasi.
Pada akhirnya, etika fotografi street di kota yang penuh kamera bukan soal larangan, melainkan kesadaran. Fotografer bukan hanya pembuat gambar; mereka juga mediator antara realitas dan representasi. Dengan memahami sensitivitas subjek, memahami potensi dampak sebuah foto, dan menerapkan praktik yang bertanggung jawab, street photography dapat tetap hidup tanpa mengabaikan nilai moral di balik setiap jepretan. Dunia sudah berubah dan cara kita memotret manusia di dalamnya pun harus ikut beradaptasi.
Comments :