Is It Possible Trading Without USA?

Pertanyaan provokatif ini mulai bertebangan ketika Donald Trump, Presiden Amerika yang baru saja terpilih, menaikkan harga tarif ke berbagai negara, termasuk Indonesia di angka 32 persen. Tidak hanya Indonesia, negara lain dalam lingkup ASEAN seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Thailand juga mendapat imbas, di angka 24%, 49%, 46%, dan 36%. Kenaikkan harga tarif ini membuat banyak importir ‘kebaran jenggot’ karena disinyalir dapat menganggu pasar. Namun, apakah masih rasional melakukan kegiatan perdangangan internasional tanpa Amerika Serikat? Dan apakah benar efek dari kenaikan tarif ini sangat mengkhawatirkan bagi Indonesia?

Pertama-tama, perlu dipahami mengapa kenaikan tarif ini dapat menggemparkan perekonomian. Kenaikan harga tarif, atau yang didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas barang-barang import, membuat para importir harus membayar uang yang lebih besar untuk mendatangkan barang tersebut ke dalam negeri. Lantas, apa yang membuat harga tarif mengalami kenaikkan? Pengeluaran kebijakan negara adalah salah satu alasannya. Berdasarkan kasus yang dialami di Amerika Serikat, Donald Trump sendiri yang menaikkan harga tarif dengan dasar untuk memajukan produk olahan dalam negeri sendiri. Kenaikan yang drastis membuat importir mengharuskan membayar pajak yang lebih besar, yang berimbas kepada harga barang yang lebih tinggi. Kenaikan harga yang tinggi dapat membuat daya beli menurun, terlebih ketika Amerika Serikat sedang diancam dengan fenomena ini ketika 7-Eleven mulai menutup kurang lebih 444 gerainya di Amerika Serikat.

Sementara itu, bagaimana kalau importir tidak mau membayar pajak yang harganya lebih besar hingga mencapai puluhan juta rupiah? Salah satu jalan keluarnya adalah membatalkan pesanan barang import dari Amerika. Bahkan, setelah dihitung-hitung, denda pembatalan kontrak import dari supplier pun masih lebih murah dibanding membayar harga pajak yang baru saja melambung.

Di sisi lain, banyak pelaku yang mengira bahwa Incoterms, seperti FOB (Free on Board), CIF (Cost, Insurance, and Freight), atau CFR (Cost and Freight) bisa mempengaruhi besaran tarif, padahal tidak sama sekali. Ketiga instrumen tersebut hanya mengatur siapa yang bertanggung jawab terhadap biaya dan risiko selama pengiriman, bukan urusan tarif atau pajak yang akan ditambahkan pada harga barang import. Faktanya, tarif atau bea masuk selalu menjadi tanggung jawab importir, apa pun meteode pengirimannya. Jadi meskipun barang dikirim dengan CIF (biaya kirim dan asuransinya ditanggung eksportir), bea masuk tetap dibayar oleh penerima di negara tujuan. Yang berkaitan dengan eksportir hanyalah bea keluar, jika negara asal memberlakukan hal itu.

Untuk menjawab pertanyaan di judul, jawabannya bisa sekali melakukan kegiatan importir tanpa menempatkan tujuan ke Amerika Serikat. Dunia perdagangan internasional semakin terbuka untuk alternatif lain seperti Vietnam, India, Tiongkok hingga Kawasan Eropa Timur yang menawarkan harga dan kualitas bersaing, apalagi dengan tarif yang lebih bersahabat. Namun, untuk menjawab apakah kenaikan tarif sangatlah berbahaya untuk Indonesia, jawabanya tidak. Seperti yang telah diperhitungkan oleh Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menilai bahwa timbal balik dari kenaikan harga tarif Amerika Serikattidak terlalu besar, walau pun masih ada dampaknya. Melalui pemaparannya, hal ini dikarenakan yang akan membayar pajak tersebut adalah Amerika Serikat, bukan Indonesia dalam proses import, sehingga kita dibebaskan dari pembayaran bea masuk karena posisi kita sebagai eksportir. Akan tetapi, yang seharusnya kita khawatirkan, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, adalah penurunan daya beli warga Amerika yang berdampak tidak langsung pada negara pengekspor. Jusuf Kalla berkata “Yang ditakutkan dunia ini, daya beli Amerika menurun sehingga tidak dapat membeli lagi barang kita. Sehingga pabrik bisa tutup, PHK meningkat.” Ia menekankan lagi bahwa hanya 10% efek langsung tarif tersebut ke produk ekspor Indonesia. Intinya, yang mengkhawatirkan Indonesia adalah daya beli masyarakat local Amerika Serikat yang dapat menurunkan demand produksi barang Indonesia dan berimbas pada kerugian produksi dalam negeri, bukan besaran harga tarifnya. (NAK)

Sumber:
https://www.instagram.com/p/DIGyOphBO-A/?igsh=MWtrc20yMWp4ZHAzeA%3D%3D

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7584516/penurunan-daya-beli-dan-kalah-saing-paksa-7-eleven-tutup-444-gerai

https://bbs.binus.ac.id/ibm/2018/05/kebijakan-kebijakan-perdagangan-internasional/

https://www.antaranews.com/berita/4749953/indonesia-kena-kenaikan-tarif-as-sebesar-32-persen

https://www.kompas.id/artikel/apa-itu-tarif-dan-mengapa-trump-menerapkan-untuk-indonesia