Cap Go Meh, yang secara harfiah berarti “malam kelima belas” dalam dialek Hokkien, adalah perayaan yang menandai puncak dan penutupan rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Dirayakan pada hari ke-15 bulan pertama dalam kalender lunar Tionghoa, Cap Go Meh dikenal juga sebagai Festival Lampion atau Festival Lentera. Perayaan ini ditandai dengan berbagai tradisi, seperti pemasangan lampion berwarna-warni, pertunjukan barongsai, dan penyajian hidangan khas seperti mie panjang umur dan lontong Cap Go Meh.

Sejarah Cap Go Meh dapat ditelusuri hingga era Dinasti Han di Tiongkok, sekitar tahun 206 SM hingga 220 M. Pada masa itu, para biksu Buddha menyalakan lentera pada hari ke-15 Tahun Baru Imlek untuk menghormati Sang Buddha. Ritual ini kemudian diadopsi oleh masyarakat umum dan menyebar ke seluruh Tiongkok serta beberapa wilayah Asia.

Perayaan Cap Go Meh tidak hanya memiliki makna budaya dan spiritual, tetapi juga berdampak pada sektor ekonomi, khususnya dalam konteks perdagangan internasional. Di Indonesia, perayaan ini menarik wisatawan domestik dan mancanegara, yang berkontribusi pada peningkatan sektor pariwisata dan ekonomi lokal. Festival ini menjadi ajang promosi budaya yang dapat menarik minat wisatawan asing, sehingga meningkatkan devisa negara melalui sektor pariwisata.

Selain itu, perayaan Cap Go Meh mendorong peningkatan permintaan terhadap produk-produk terkait, seperti lampion, pakaian tradisional, dan makanan khas. Hal ini membuka peluang bagi pelaku usaha lokal untuk mengekspor produk-produk tersebut ke negara lain yang juga merayakan Cap Go Meh atau memiliki komunitas Tionghoa yang signifikan. Dengan demikian, perayaan ini tidak hanya memperkaya budaya lokal tetapi juga berpotensi meningkatkan perdagangan internasional melalui ekspor produk budaya.

Secara keseluruhan, Cap Go Meh merupakan perayaan yang kaya akan makna budaya dan sejarah. Selain sebagai simbol penutupan rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek, festival ini juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan, baik dalam skala lokal maupun internasional, melalui peningkatan pariwisata dan perdagangan produk budaya.

 

Referensi :

gaya.tempo.co

kompas.com

indonesia.travel

Penulis: Scherly, Perdagangan Internasional BINUS@Medan