Dalam lanskap pertanian dan pangan masa kini, transisi menuju keberlanjutan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau aktivis lingkungan. Dunia bisnis—terutama sektor agrifood—turut menjadi medan penting bagi transformasi ini. Di sinilah dua aktor utama bertemu: perusahaan besar yang telah lama mendominasi pasar (incumbents) dan startup agrifood yang hadir membawa semangat inovasi hijau.

Interaksi antara keduanya tidak selalu berjalan mulus. Di satu sisi, terdapat potensi konflik dan kompetisi yang tajam. Namun di sisi lain, keduanya juga memiliki peluang besar untuk saling melengkapi dan membangun kolaborasi menuju masa depan agrifood yang berkelanjutan.

Kompetisi: Ketika Startup Mengganggu Kenyamanan Pasar Lama

Startup agrifood hadir dengan berbagai solusi disruptif—mulai dari pertanian vertikal, teknologi precision farming, bioteknologi pangan, hingga digitalisasi rantai pasok. Inovasi-inovasi ini sering kali dianggap sebagai ancaman oleh perusahaan besar yang telah lama bertumpu pada model bisnis konvensional.

Namun incumbent companies tidak tinggal diam. Mereka memanfaatkan kekuatan modal, jaringan distribusi, dan kedekatan dengan regulator untuk mempertahankan posisi mereka. Strategi yang umum digunakan antara lain:

  1. Melobi Regulasi Publik: Incumbents berusaha mempengaruhi kebijakan agar tetap menguntungkan posisi mereka, sering kali menghambat masuknya teknologi baru dari startup.

  2. Menetapkan Standar Teknis Tinggi: Mereka mendikte standar industri yang sulit dicapai oleh pemain baru, sehingga memperkecil peluang startup untuk bersaing.

  3. Akuisisi dan Investasi: Perusahaan besar juga kerap mengakuisisi startup inovatif, baik untuk mengurangi kompetisi maupun agar tetap relevan dalam tren keberlanjutan.

Ko-evolusi: Ketika Kompetitor Menjadi Mitra Strategis

Meskipun narasi kompetisi sering mendominasi, kini muncul pendekatan baru: ko-evolusi, di mana pemain lama dan startup saling berkolaborasi untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu keberlanjutan.

Beberapa bentuk kerja sama yang mulai banyak diterapkan antara lain:

  • Aliansi Strategis: Perusahaan besar berinvestasi dalam startup melalui Corporate Venture Capital (CVC), memberikan mereka akses ke pendanaan dan infrastruktur operasional.

  • Sinergi Inovasi dan Skala: Startup unggul dalam kecepatan inovasi dan adaptasi, sementara incumbents memiliki kapasitas produksi dan jaringan distribusi. Kolaborasi ini mempercepat adopsi teknologi hijau secara luas.

  • Transformasi Model Bisnis: Banyak incumbent mulai mengadopsi model bisnis berkelanjutan yang dikembangkan oleh startup, seperti sistem pertanian berbasis data atau marketplace hasil tani langsung dari petani.

Strategi Bertahan dan Bertumbuh untuk Startup Agrifood

Agar mampu bersaing dan tetap bertahan di tengah kompetisi yang ketat, startup agrifood perlu memiliki strategi yang cermat dan kontekstual. Beberapa pendekatan yang direkomendasikan antara lain:

  • Kemitraan Strategis: Bergabung dengan perusahaan besar memberikan akses ke pasar, kepercayaan dari konsumen, dan legitimasi bisnis.

  • Eksperimen dan Adaptasi Cepat: Startup harus lincah dalam menguji ide, merespons perubahan regulasi, dan menyesuaikan produk dengan kebutuhan pasar.

  • Ekspansi Digital dan Global: Dengan mengandalkan teknologi digital, startup bisa memperluas jangkauan pasar mereka secara geografis dan meningkatkan efisiensi operasional.

Kesimpulan: Menuju Ekosistem Agrifood yang Lebih Inklusif dan Berkelanjutan

Transformasi keberlanjutan di sektor agrifood tidak bisa bergantung pada satu pihak saja. Inovasi dari startup memang menjadi pemicu penting, tetapi kekuatan incumbent companies juga tak bisa diabaikan. Di tengah dinamika persaingan, ada ruang besar untuk kolaborasi strategis.

Ketika keduanya mampu menemukan titik temu melalui sinergi yang saling menguntungkan, mereka bukan hanya memperkuat posisi masing-masing, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan sistem pangan yang lebih adil, hijau, dan berkelanjutan bagi generasi masa depan.