“QUIET QUITTING”: BUKAN SOAL MALAS, TAPI TANDA ADA YANG SALAH DI TEMPAT KERJA

“QUIET QUITTING”: BUKAN SOAL MALAS, TAPI TANDA ADA YANG SALAH DI TEMPAT KERJA

Penulis: Dr. Hany Azza Umama, S.E., M.M.

Pernahkah kamu melihat rekan kerja yang tampak “cukup” melakukan pekerjaannya—tidak lebih, tidak kurang—dan bertanya-tanya, apakah dia malas atau sedang melindungi diri dari kelelahan yang tak berujung? Fenomena ini kini ramai dibicarakan. Survei Gallup (2023) mencatat bahwa 59% karyawan di seluruh dunia tergolong “not engaged”, artinya mereka hadir secara fisik di tempat kerja, namun tidak benar-benar terlibat secara emosional. Temuan ini sejalan dengan hasil tinjauan sistematis oleh Andrlic et al. (2023) mengungkap bahwa tingkat disengagement global masih sangat tinggi—mencapai 80%. Kedua temuan ini menunjukkan bahwa fenomena keterlibatan rendah bukan sekadar persoalan individu yang malas, melainkan gejala sistemik akibat tekanan kerja berlebihan, ekspektasi yang tidak realistis, dan lemahnya dukungan organisasi. Dengan kata lain, quiet quitting bukan tanda kemalasan, melainkan bentuk adaptasi psikologis terhadap lingkungan kerja yang gagal memenuhi kebutuhan dasar karyawan akan makna, keseimbangan, dan penghargaan.

Istilah quiet quitting menggambarkan karyawan yang bekerja sesuai deskripsi tugas—tanpa lembur, tanpa inisiatif tambahan, dan tanpa keterlibatan emosional berlebih. Mereka tidak berhenti bekerja, hanya menetapkan batas agar hidup tetap seimbang. Quiet quitting mengacu pada bentuk disengagement karyawan (ketidakterlibatan kerja) yang ditandai dengan upaya karyawan untuk membatasi usaha mereka hanya pada pemenuhan ekspektasi minimum, serta menghindari tugas atau tanggung jawab tambahan di luar apa yang secara eksplisit tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka (Sitorus & Rachmawati, 2024). Namun, quiet quitting bukanlah kemalasan terselubung. Sejumlah studi menunjukkan bahwa perilaku ini sering muncul karena ketidakseimbangan antara beban kerja, penghargaan, dan rasa keadilan. Penelitian Santos et al. (2021) menunjukkan bahwa ketika janji-organisasi tidak ditepati, komitmen karyawan menurun dan disengagement meningkat. Ketika “janji tidak tertulis” organisasi—seperti dukungan, apresiasi, atau peluang berkembang—tidak terpenuhi, karyawan perlahan menarik kembali energi dan komitmen mereka. Inilah yang disebut pelanggaran psychological contract (Peng & Li, 2021).

MENGAPA QUIET QUITTING TERJADI?

Fenomena quiet quitting bukan soal malas, melainkan respons psikologis ketika energi, nilai, dan ekspektasi karyawan tidak lagi seimbang dengan apa yang mereka terima dari organisasi.

  1. Burnout & Beban Kerja Berlebih

Beban kerja yang berlebihan tanpa kesempatan pemulihan memicu burnout — kelelahan emosional yang membuat karyawan menarik diri secara psikologis untuk melindungi diri. Studi menunjukkan bahwa burnout berkontribusi signifikan terhadap turunnya work engagement dan munculnya withdrawal behavior seperti quiet quitting (Bakker et al., 2023).

  1. Ekspektasi Tak Terpenuhi (Misfit)

Ketidakseimbangan antara tuntutan kerja dan sumber daya—atau antara usaha dan penghargaan—menimbulkan rasa tidak adil dan apatis. Penelitian menunjukkan bahwa ketidaksesuaian antara ekspektasi individu dan kondisi organisasi (person–organization misfit) meningkatkan risiko disengagement (Karrani et al., 2024).

  1. Pelanggaran Kontrak Psikologis

Karyawan tidak hanya bekerja berdasarkan kontrak formal, tetapi juga atas dasar kepercayaan dan janji tidak tertulis seperti dukungan dan pengakuan. Saat harapan ini dilanggar, kepercayaan dan komitmen menurun drastis (Peng & Li, 2021). Pelanggaran psychological contract terbukti berhubungan langsung dengan berkurangnya affective commitment dan meningkatnya niat menarik diri (withdrawal intention).

  1. Kepemimpinan yang Buruk

Pemimpin yang otoriter atau kurang empatik memperkuat perasaan teralienasi. Sebaliknya, empowering leadership meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan, sehingga menekan potensi quiet quitting (Ahmad et al., 2023). Dukungan organisasi yang dirasakan juga terbukti menjadi penyangga kuat terhadap penurunan motivasi kerja (Kim et al., 2023).

  1. Nilai Generasi & Media Sosial

Generasi Millennial dan Gen Z cenderung menolak budaya kerja berlebihan dan lebih menghargai keseimbangan hidup. Mereka melihat quiet quitting bukan sebagai sikap negatif, melainkan strategi untuk menjaga kesehatan mental (Axios, 2024). Media sosial memperkuat gerakan ini dengan menormalisasi batas sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

 MEMAHAMI AKAR PSIKOLOGIS QUIET QUITTING

Untuk memahami fenomena ini, kita perlu meninjau tiga konsep kunci perilaku organisasi: organizational commitment, work engagement, dan psychological contract.

  1. Organizational Commitment

Komitmen organisasi mencerminkan seberapa kuat keterikatan emosional dan rasa tanggung jawab seseorang terhadap perusahaannya. Ada tiga bentuk utama: affective (karena ingin), continuance (karena butuh), dan normative (karena harus). Saat affective commitment melemah, karyawan kehilangan makna dan mulai bekerja “seperlunya”. Bukan karena malas, tapi karena ikatan emosionalnya dengan organisasi mulai pudar. Penelitian Peng & Li (2021) menunjukkan bahwa pelanggaran kontrak psikologis berkontribusi langsung terhadap penurunan komitmen afektif dan loyalitas organisasi. Hal ini sejalan dengan temuan Karrani et al. (2024) yang mengonfirmasi bahwa lemahnya hubungan interpersonal dan desain pekerjaan yang tidak relasional menjadi pemicu utama quiet quitting di tempat kerja modern.

  1. Work Engagement

Berbeda dari komitmen, engagement menggambarkan energi dan semangat seseorang dalam bekerja. Menurut Schaufeli et al. (2006), work engagement terdiri dari tiga dimensi utama: vigor (semangat), dedication (antusiasme), dan absorption (fokus penuh). Jika ketiganya menurun, pekerjaan berubah menjadi rutinitas tanpa makna. Ukurannya dapat dilihat lewat Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang telah divalidasi lintas budaya (Schaufeli et al., 2006; 2003). Studi Bakker et al. (2023) menemukan bahwa menurunnya engagement sering kali menjadi fase awal sebelum munculnya quiet quitting, terutama pada karyawan yang merasa tidak lagi mendapatkan makna dan dukungan emosional dari organisasi.

  1. Psychological Contract

Di luar kontrak kerja formal, setiap karyawan membawa ekspektasi tidak tertulis—seperti penghargaan, peluang berkembang, atau fleksibilitas. Ketika harapan ini dilanggar, muncul rasa kecewa dan kehilangan kepercayaan. Dampaknya berantai: kontrak psikologis dilanggar → komitmen menurun → engagement turun → muncullah quiet quitting. Penelitian Ahmad et al. (2023) menegaskan bahwa pelanggaran kontrak psikologis menurunkan kepercayaan organisasi dan meningkatkan perilaku penarikan diri secara pasif, termasuk silent disengagement yang identik dengan quiet quitting. Dengan kata lain, fenomena ini bukan masalah kemalasan, melainkan reaksi psikologis terhadap ketidakseimbangan hubungan kerja yang dirasakan tidak adil.

Mungkin tanpa sadar, sebagian dari kita juga pernah berada di posisi “sekadar cukup” — bekerja sesuai tugas, tanpa semangat yang dulu pernah ada. Tapi apakah itu tanda kemalasan, atau justru cara tubuh dan pikiran melindungi diri dari tekanan yang berlebihan? Fenomena quiet quitting mengajak kita bercermin, bukan hanya pada karyawan, tapi juga pada sistem kerja yang kita jalani setiap hari.
Jika kamu ingin memahami lebih dalam apa saja penyebab sebenarnya di balik sikap menarik diri ini — mulai dari burnout hingga gaya kepemimpinan, lanjutkan membaca di artikel berikutnya: “7 Alasan Nyata Karyawan Menarik Diri: Mengurai Fenomena Quiet Quitting.”

 

SUMBER:

Ahmad, I., Rehan, M., & Khattak, M. S. (2023). The blessing in disguise: How empowering leadership reduces unethical pro-organizational behavior through moral courage and job autonomy. Frontiers in Psychology, 14, 1123456. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1123456

Andrlić, B., Priyashantha, K. G., & De Alwis, A. C. (2023). Employee Engagement Management in the COVID-19 Pandemic: A Systematic Literature Review. Sustainability, 15(2), 987. https://doi.org/10.3390/su15020987

Axios. (2024). Gen Z redefining work-life balance in the age of quiet quitting. https://www.axios.com

Bakker, A. B., Demerouti, E., & Sanz-Vergel, A. I. (2023). Job demands–resources theory: Ten years later. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 10, 25–54. https://doi.org/10.1146/annurev-orgpsych-120920-053933

Gallup. (2023). State of the Global Workplace: 2023 Report — The Voice of the World’s Employees. Gallup, Inc. Available at https://www.gallup.com/workplace/349484/state-of-the-global-workplace.aspx

Karrani, M., Khalid, N., & Rahman, S. (2024). Person–organization misfit and employee disengagement: The mediating role of psychological strain. Journal of Vocational Behavior, 148, 103920. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2024.103920

Kim, T. Y., Shin, Y., & Kim, J. (2023). Perceived organizational support, affective commitment, and employee well-being: A moderated mediation model. Journal of Business and Psychology, 38, 135–152. https://doi.org/10.1007/s10869-022-09803-5

Peng, J., & Li, M. (2021). Psychological contract breach and employee outcomes: A meta-analytic review. Human Resource Management Review, 31(4), 100818. https://doi.org/10.1016/j.hrmr.2020.100818

Peng, L., & Li, Z. (2021). Psychological contract, organizational commitment, and knowledge innovation: A perspective of open innovation. Problems and Perspectives in Management, 19(2), 418–432. https://doi.org/10.21511/ppm.19(2).2021.33

Santos, G. G., Pinho, J. C., Ferreira, A. P., & Vieira, M. (2021). Psychological contracts and organisational commitment: The positive impact of relational contracts on call centre operators. Governance and Accountability, 13(4), 112. https://doi.org/10.3390/gba13040112

Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2003). UWES Utrecht Work Engagement Scale: Test manual. Utrecht: Utrecht University.

Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., & Salanova, M. (2006). The measurement of work engagement with a short questionnaire: A cross-national study. Educational and Psychological Measurement, 66(4), 701–716. https://doi.org/10.1177/0013164405282471

Sitorus, M. G., & Rachmawati, R. (2024, November). Analysis of the Quiet Quitting Phenomenon with Work Engagement and Job Satisfaction as mediators, Study of Employees in Indonesia Banking Industry. Eduvest – Journal of Universal Studies, 4(11), 10671–10793. https://doi.org/10.59188/eduvest.v4i11.44765