MITOS INOVASI MENGAPA TIDAK SEMUA STARTUP HARUS MENJADI DISRUPTIF

MITOS INOVASI
MENGAPA TIDAK SEMUA STARTUP HARUS MENJADI DISRUPTIF

Penulis: Febby Candra Pratama, S.E., M.M.

Jika ada satu kata yang paling sering muncul di dunia startup, kata itu adalah “inovasi”. Hampir semua mentor, investor, hingga media bisnis mendorong agar startup “berbeda”, “disruptif”, dan “membawa ide segar”. Cerita-cerita sukses seperti Amazon atau Tesla memperkuat keyakinan bahwa semakin inovatif sebuah perusahaan rintisan, semakin besar peluangnya untuk bertahan hidup. Namun, penelitian menarik dari Finlandia justru seolah menantang mitos ini: inovasi tidak selalu menjadi tiket menuju keberlangsungan bisnis.

Penelitian yang dilakukan oleh Ari Hyytinen, Mika Pajarinen, dan Petri Rouvinen terhadap 1.165 startup menemukan bahwa perusahaan yang sejak awal fokus pada inovasi justru memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih rendah dibandingkan yang tidak terlalu inovatif. Angkanya tidak main-main, mencapai 7% lebih rendah untuk bertahan hidup.

Mengapa kondisi tersebut bisa terjadi? Salah satunya karena bias dalam melihat capaian kesuksesan. Para peneliti menyebut adanya bias keberlangsungan ide. Para pelaku startup cenderung hanya mendengar kisah startup inovatif yang berhasil, sementara ribuan yang gagal tidak terlihat. Akibatnya, narasi yang terbentuk adalah “inovasi membawa kesuksesan”, padahal data sesungguhnya lebih kompleks. Selain itu, juga terdapat bias kelangsungan hidup perusahaan, di mana penelitian-penelitian yang ada justru berfokus pada perusahaan yang sudah bertahan lama (bukan startup). Padahal, sebagian besar startup gagal pada tahun-tahun awal dan sangat jarang dilibatkan sebagai subjek penelitian. Hal ini menjadi landasan atas tidak relevannya tuntutan inovasi pada startup untuk mencapai kesuksesan bisnis.

Tiga Peran Founder Dalam Menyikapi Inovasi

Pertama, jangan merasa bahwa satu-satunya jalan sukses adalah menjadi startup dengan inovasi yang disruptif (mengganggu dan benar-benar baru). Inovasi memang penting, tetapi tidak selalu berarti harus radikal. Inovasi bertahap (incremental innovation) memiliki tingkat risiko yang lebih rendah untuk fase awal dan tetap relevan bagi pasar.

Kedua, membangun fondasi bisnis terlebih dahulu adalah kunci keberlanjutan pertumbuhan bisnis. Hal ini perlu dilakukan pada fase awal, seperti validasi pelanggan, arus kas yang sehat, serta tim yang solid. Setelah itu, barulah berpikir ke arah inovasi yang lebih berani.

Ketiga, jika founder memiliki toleransi yang tinggi terhadap risiko, maka penting untuk memiliki tim yang saling mengisi kebutuhan manajerial. Perlu tim yang mampu melakukan analisis terstruktut dan terukur, sehingga inovasi yang akan dijalankan memiliki mitigasi risiko yang baik. Founder harus memiliki kemampuan berempati dan terbuka untuk menerima kritik serta saran.

Teruntuk Para Founder

Mitos bahwa semua startup harus disruptif adalah jebakan yang mengerikan. Inovasi besar memang bisa menghasilkan perusahaan raksasa, namun lebih banyak startup yang justru tumbang, tersungkur, karena terburu-buru mengejarnya, tanpa melihat kapabilitas internal. Inovasi yang disruptif mengalami pembiasan makna, menjadikan para founder “latah“, menjadi inovator yang tidak memahami alasan dibalik inovasi dan justru menjadi pembunuh yang kejam dari dalam.

Saatnya para founder juga melihat adanya inovasi strategi yang sederhana, eksekusi yang konsisten, dan inovasi kecil yang berdampak nyata, yang menyadari seutuhnya bahwa pada masa startup adalah waktu yang sangat rentang untuk tumbang. Karena dalam bisnis, yang terpenting bukanlah seberapa “hebat” ide awalnya, namun seberapa lama perusahaan itu mampu bertahan.

Referensi:

  1. Hyytinen, A., Pajarinen, M., & Rouvinen, P. (2015). Does innovativeness reduce startup survival rates? Journal of Business Venturing, 30(4), 564–581. https://doi.org/10.1016/J.JBUSVENT.2014.10.001