Masa neo-renaissance itifak penciptaan sebuah pola manusia dalam ranah bisnis

Neo-renaissance, masa neo-renaissance ini adalah istilah baru yang sengaja saya munculkan setelah banyak sekali bisnis yang muncul dan hancur di tengah badai perubahan yang radikal. Perubahan tersebut ditengarai oleh sebuah istilah yang saya disebut triple disruption. Triple disruption tersebut adalah digital disruption, millennial disruption, pandemic disruption.

Disruption yang pertama, digital disruption, adalah sumber segala sumber disrupsi, karena itu bisa disebut sebagai: “core disruptor”. Kenapa core? Karena ia menjadi sumber disrupsi terbesar dalam sejarah umat manusia. Dengan adanya disrupsi ini, operasi perusahaan-perusahaan yang berbasis fisik (atom) dipaksa bertransformasi menjadi berbasis digital (bit). Jika tetap pada atau berbasis fisik maka tinggal tunggu waktu, dia akan perlahan mati dan tersingkir dalam persaingan.

Travel agent dipaksa harus menjadi online travel agent (OTA). Perital brick e mortar di gusur e-commerce seperti tokopedia atau shopee. Bank tradisional harus berubah menjadi digital bank atau menjadi financial super apps. Pemain tradisional seperti blue bird dipaksa membangun platform digital atau harus berkalaborasi dengan pemain seperti gojek agar value migration bisa dihentikan. Kemudian digitalisasi ini seperti mendapat sebuah dorongan yang berakselerasi lebih massive yaitu dengan datangnya pandemic COVID-19, maka figital brand adalah suatu keniscayaan.

Disruption kedua, millenieal disruption, terjadi karena milai-nilai perilaku, dan preferensi milenial berubah drastic disbanding generasi sebelumnya. Akibatnya banyak produk, industry dan kebiasaan lama yang tak relevan lagi bahkan hilang dari peredaran. Millennial disruption disebut juga disruptor enabler, karena kaum ini menjadi pemungkin terjadinya disrupsi yang lebih luas terutama dari sisi demand (konsumen/pasar). Pergesaeran besar perilaku konsumen millennial memungkinkan tercipta jaeran didorong oleh penggunaan teknologi digital yang massif di kalangan tersebut. Lebih jauh lagi hal tersebut kemudian membentuk pola piker dan kebiasaan mereka.

Sementara disrupsi ketiga adalah disrupsi pamungkas yaitu pandemic disruption. Kita semua sudah tau lah, sudah dua tahun lebih ini kita diterpa oleh disrupsi terbesar abad ini yang disebabkan oleh wabah COVID-19. Polanya jika kita cermati sebenarnya hamper sama, dan korban berupa produk, industry dan kebiasaan lama jadi sebuah ujung dari muara. Pandemic disruption disebut sebagai disruptor eccelerator karena menjadi akselerator mengganasnya digital disruption. Pandemic menjadi katalis merebaknya digital lifestyle.

Lalu bagaimana gambaran era ini, apakah pola nya sama dengan apa yang umat manusia pernah alami?

Era baru ini kira-kira mirip dengan datangnya renaisans (renaissance) di eropa abad 15-16 yaitu masa transisi dari abad pertengahan kea bad modern, dari masa kegelapan ke masa pencerahan. Seperti halnya sekarang di titik pergantian zaman tersebut muncul inovasi-inovasi baru yang terjawantahkan di berbagai bindang seperti, seni rupa, arsitektur, politik, ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Dengan inovasi-inovasi diberbagai lapangan kehidupan manusia ini maka dunia seolah terlahir kembali. Seiring dengan kelahiran kembali ini akan muncul inovasi-inovadi baru, entrepreneur-entreprenur baru, dan brand-brand baru. Lebih jauh lagi kita telah masuk ke era yang saya sebut dengan istilah: The Golden Age of Business Reinvention.

Inovasi baru, dari inovasi berbasis atom ke inovasi berbasis bit. Di era kegelapan inovasi berbasis atom mengalami deselerasi; maka di era pencerahan inovasi bit justru mengalami akselerasi, bahkan lompatan kuantum.

Entrepreneur-entrepreneur baru. dimana asal muasalnya adalah dari generasi baby boomers dan Gen-X tergantikan oleh entrepreneur-entrepreneur dari generasi millennial dan Gen-Z. Millennial dan Gen-Z adalah digital native sekaligus disruption native artinya mereka lahir dan besar ditengah gonjang-ganjing disrupsi dan digitalisasi. Oleh karena itu disrupsi dan digitalisasi sudah menjadi bagian dari DNA kembang dan tumbuh mereka. Ini berbeda sekali dengan dua generasi sebelumnya yang gagap dan gamang menghadapi disrupsi dan digitalisasi.

Bran-brand baru, dari awalnya brand-brand yang tua, gemuk, lambat dan telah lapuk, tergantikan oleh brand-brand baru yang fresh, langsing dan agile merespon setiap perubahan yang muncul akibat triple disruptions.

 

 

BIGRAF TRIANGGA, S.S.T.,M.M